SBY – Budiono bersama dengan jajarannya
telah mendeklarasikan upah murah dalam bentuk Inpres Pembatasan Penetapan UMP
(Upah Minimum Provinsi) beberapa waktu lalu. Inpres ini menyusul kebijakan
sebelumnya yakni 4 kebijakan ekonomi penyelamat krisis, penetapan 48 obyek
vital beserta komitmen pengamanannya bersama POLRI. Kapolri Timur Pradopo
menyatakan akan menindak tegas siapapun yang mengganggu keamanan industri.
Singkat kata, pemerintah melalui aparatusnya siap mengkriminalkan buruh yang
berjuang untuk upah layak. Metode – metode perjuangan, baik aksi massa,
sweeping, mogok, penutupan jalan tol dikatakan sebagai tindak pidana. Sementara,
sekian tahun pengusaha melakukan tindak pelanggaran UU ketenagakerjaan,
pemerintah bungkam. Bukan karena tidak sanggup tapi karena tidak mau. Atas nama
investasi rejim ini sedang bermain-main dengan nasib buruh. Hak buruh
disubordinatkan di bawah kepentingan investasi. Semua bicara hak buruh
selayaknya dikorbankan demi penyelamatan krisis, demi investasi dan tidak
satupun bicara atas kepentingan buruh.
I. Pemodal dan Pemerintah Penyebab Krisis,
Buruh Jadi Tumbal
Melemahnya rupiah hingga di
angka hampir Rp 12.000,00, membuat pemerintah panik. Kebanggaan atas
pertumbuhan ekonomi yang hampir 6% di pidato kenegaraan SBY pada peringatan
kemerdekaan Indonesia tiba-tiba lenyap begitu saja. Bagaimana tidak?
Pertumbuhan eknomi tersebut dibangun di atas fondasi yang rapuh. Tak heran,
ketika AS mengeluarkan kebijakan Fiskal untuk menguatkan perekonomian dalam
negerinya, rupiah seketika terjun bebas. Seiring dengan rasa panik itulah,
pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan pengusaha (bukan buruh dan
rakyat seperti yang disebutkan sebelumnya yaitu 4 paket kebijakan ekonomi,
penetapan 48 obyek vital negara beserta pengamanannya, dan terakhir Inpres
pembatasan kenaikan upah yang isinya
upah buruh hanya boleh 10% di atas inflasi, khusus padat karya hanya boleh naik
maksimal 5% di atas inflasi.
Ada beberapa faktor penyebab
lemahnya rupiah diantaranya (1) impor besar; (2) kebutuhan dollar AS untuk
membayar utang luar negeri; (3) pemindahan aset orang kaya dari rupiah ke
dollar AS di luar negeri.
(1) Impor besar bukan berita baru bagi
Indonesia. Sejenak setelah rupiah merosot atas dollar AS, Menteri Keuangan
Hatta Rajasa terus menyerukan untuk terus membeli. Sementara berbagai produk
yang beredar di pasaran sebagian besar adalah barang impor yang jauh sebelumnya
sudah menghancurkan produk lokal. Gempuran produk impor ini akibat penerapan
pasar bebas. Indonesia mungkin satu-satunya negeri yang terkenal dengan Tempe namun tak sanggup menyediakan
bahan baku tempe yakni kedelai. Bahkan,
Indonesia tidak hanya mengimpor bahan baku dan tekhnologi namun juga produk
elektronik seperti HP yang menempati urutan nomor 5 terbanyak, hingga produk
pertanian seperti ubi, sayur mayuran dan cabe rawit. Suatu hal yang ironis
karena Indonesia adalah negeri yang kaya akan produk pertanian.
(2) Ketergantungan impor juga tampak dalam
impor tekhnologi untuk industri dalam negeri. Berdasarkan data Memperindag
Indonesia mengimpor tekhnologi untuk Industri dalam negeri sebesar 92% dari
negeri –negeri industri lainnya seperti Jepang, Amerika, Eropa, hingga China. Sementara,
kontribusi tekhnologi lokal untuk industri dalam negeri hanya 1,69%. Realita ini
cukup menjelaskan kenapa Indonesia lebih banyak bersandar pada industri padat
karya yang mengandalkan tenaga kerja terampil, dibanding industri padat modal. Hal
ini merupakan cermin tidak berkembangnya industri nasional Indonesia. Singkat
kata, industri nasional Indonesia sangat rapuh sehingga mudah sekali terkena
dampak krisis.
(3) Kebutuhan dollar AS untuk membayar utang
luar negeri. Indonesia tidak hanya dikenal rajin impor, namun juga rajin
mengutang. Berdasarkan catatan pemerintah, utang luar negeri Indonesia hingga
Juni 2013 mencapai Rp.2.036,14 Triliun (yang menghabiskan prosentase sebesar
17,3% (Rp 1,726.2 triliyun) dari APBN 2013 untuk membayarnya. Angka ini tentu
jauh bila dibandingkan dana APBN untuk rakyat seperti pendidikan, kesehatan dan
lainnya. Hingga Mei 2013 ini saja misalnya, realisasi pembayaran utang
pemerintah sudah mencapai 34% dari total APBN hampir menguras 30% APBN senilai
dengan Rp 104,725 miliar. Hal ini kontras dengan total anggaran kemiskinan yang
hanya berjumlah sekitar 6,7% dari total APBN selama setahun atau hanya Rp 115,5
tiliun. Rasio utang terhadap pendapatannya mencapai tidak kurang dari 120
persen yang artinya, pendapatan seluruh penduduk selama setahun tidak cukup
untuk utang tersebut. Karena itulah, APBN kita selalu pada titik krisis,
terlebih saat dollar AS menguat dimana akibat penguatan dollar AS tersebut, utang
luar negeri Indonesia naik hingga 30%. Sialnya, sebagian utang luar negeri
tersebut, yakni utang luar negeri swasta jatuh tempo pada bulan September 2013
sebesar 25,7 miliar dolar AS.
(4) Pemindahan aset orang kaya dari rupiah ke
dollar AS di luar negeri. Bank Indonesia memberikan statemen bahwa dana
triliunan rupiah milik orang kaya Indonesia disimpan di negara luar, seperti
Singapura dengan alasan keamanan. Ketika
rupiah melemah, orang-orang kaya Indonesia justru cenderung memborong dollar AS
dengan harapan esok hari rupiah kembali melemah. Hal itu disampaikan sendiri
oleh Kepala Ekonom Danareksa Research Institut, Purbaya Yudhi Sadewa. Total
jumlah simpanan orang kaya Indonesia di Singapura mencapai Rp 1500 triliyun.
Apapun alasannya yang jelas tindakan kaum kaya Indonesia ini menyebabkan rupiah
kian melemah.
Melemahnya rupiah sendiri
tidak lepas dari krisis keuangan global pada akhir
2007 lalu, yang berpusat di negeri Paman Sam dan menghebat pada tahun 2008 serta meluas di hampir seluruh negeri
kapitalisme dunia lainnya seperti Yunani, Spanyol, Portugal, Latvia dan lain –
lain. Krisis keuangan global tersebut diawali dengan bangkrutnya
perusahan-perusahaan keuangan raksasa di AS seperti Merrill Lynch dan Lehman
Brothers pada 2008, yang kemudian mendorong juga terjadinya krisis ekonomi,
terutama di Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Kiat AS untuk keluar dari krisis
ini dengan menerapkan kebijakan Fiskal demi menguatkan ekonomi dalam negeri
kemudian memicu lemahnya rupiah yang kini sangat terasa bagi kita.
Dari berbagai uraian di
atas, semakin terang di mata kita bahwa krisis bukan disebabkan oleh buruh dan
rakyat. Sebaliknya, buruh dan rakyat yang terus bekerja keras setiap harinya
baik di pabrik, di pasar-pasar tradisional, di warung-warung kaki lima, hingga
para petani yang bekerja keras bercocok tanam. Namun atas nama melemahnya
rupiah Pemerintah kembali mengorbankan kepentingan rakyat, dalam hal ini
terutama sekali buruh dengan menekan upah hingga pada level terendah. Bila kita
bukan penyebab krisis, mengapa kita jadi tumbal sementara para pemodal cari
selamat dengan melarikan kekayaannya ke luar negeri.
II. Politik Investasi Tanpa Kesejahteraan
Buruh dan rakyat
Alasan lainnya bagi pemerintah menekan upah buruh adalah agar investor
tidak lari dari Indonesia. pada kenyataannya, itu hanya menjadi senjata setiap
tahun untuk menakuti buruh.
Sebelum
rupiah melemah, pemerintah sudah menjalankan investasi tanpa kesejahteraan
buruh, dan kini ketika rupiah terus melemah, pemerintah makin menekan upah
buruh pada level terendah. Bila upah minimum kurang minimum lagi dalam
pandangan pemerintah maka upah buruh dibuat lebih minimum lagi, lebih murah
lagi.
Upah buruh harus dibatasi sementara
keuntungan pemodal boleh tanpa batas. Bila dibandingkan dengan negeri lain di
Asia, harga tenaga kerja Indonesia adalah yang termurah. Upah buruh di
Indonesia adalah US$ 0.6/jam (Rp 5,400), sementara upah Fillipina dan Thailan
serta Malaysia, masing-masing adalah US$
1.04, US$1.63 dan 2.88. Upah buruh di Indonesia adalah terendah di antara 10
negara ASEAN, bahkan bila dibandingkan dengan China dan India. Negeri-negeri
Asia tersebut mengupah buruhnya lebih tinggi karena infrastruktur yang lebih
baik, birokrasi yang lebih efektif dan teknologi yang lebih maju. Birokrasi
yang efisien, Bersih Korupsi dan Infrastruktur yang baik, sebenarnya adalah
daya tarik bagi investor.
Padahal, tanpa upah murah pun Indonesia adalah negeri yang strategis
dan membuat para pemodal tergiur untuk menanamkan modalnya ke Indonesia.
Terhitung dari awal tahun lalu hingga tahun ini kondisi investasi masih
terbilang kondusif dan meningkat. Pemerintah sendiri sudah memprediksi investasi
bisa melampaui angka Rp 283,5 Triliun atau tumbuh sekitar 37% dibanding tahun
lalu. Laporan ADB sendiri menyebutkan bahwa hambatan utama investor adalah
birokrasi yang korup dan buruknya insfrastruktur. Ketua Dewan Ekonomi Nasional
Chairul Tanjung bahkan menyebutkan 3 hambatan utama investasi adalah korupsi, birokrasi dan infrastruktur.
Ketiga hal tersebut adalah persoalan utama di Indonesia. Karena enggan
memperbaiki ketiga hal tersebut, pemerintah lebih memilih mengorbankan buruh.
Persoalan korupsi di Indonesia misalnya, terakhir kita dikejutkan
dengan data dari Ketua KPK, Abraham Samad, dimana potensi pendapatan negara
sebesar Rp 7,200 triliun hilang per tahunnya. Hilangnya potensi pendapatan
negara itu dikarenakan penyelewengan dari pengusaha tambang asing (investor
tambang) yang tidak membayar pajak dan royalti kepada negara. Pengusaha tambang
asing tersebut, menurut Abraham Samad sudah menguasa 70% dari 45 blog migas
Indonesia. Apabila ditotal, tambah Samad, pajak dan royalti yang dibayarkan
dari blok migas, batubara, dan nikel setiap tahunnya bisa mencapai Rp 20,000
triliun. Sayang, pemerintah tidak tegas dalam regulasi dan kebijakan. Belum
lagi kerugian negara akibat korupsi para pejabat atau birokrasi kita hingga
kurun waktu semester I 2013 mencapai Rp 3,3 Triliun. Yang lebih mengejutkan
lagi, Samad menuturkan bila pendapatan negara itu dimaksimalkan dengan menindak
berbagai penyelewengan, maka bila dibagikan ke rakyat, setiap orang bisa
memperoleh penghasilan Rp 20 juta/ bulan. Bandingkan dengan upah kita saat ini
yang minim. Fakta yang dituturkan oleh Samad tersebut, adalah cerminan dari
kebijakan investasi tanpa kesejahteraan rakyat dan buruh. Serta pandangan yang
melihat kemajuan ekonomi dari keuntungan investor bukan dari kesejahteraan
rakyat dan buruh.
Sekarang, mari kita tengok hambatan ke dua investasi, yakni birokrasi
kita, baik Presiden beserta jajarannya maupun para anggota dewan. Birokrasi
kita, pemerintah kita yang terpilih setiap lima tahun sekali tidak hanya gemar sekali
korupsi (dilihat dari banyaknya kasus korupsi di pemerintahan) namun juga
sangat gemar hidup mewah. Bila upah buruh Indonesia adalah terendah ke tiga
sedunia, maka para pimpinan negara kita menempati urutan ke tiga di dunia.
Berdasarkn data Economis.com, Indonesia menduduki peringkat ke tiga di dunia
dengan gaji tertinggi. Posisi Indonesia ini berada di bawah Kenya dan Singapura.
Sementara menurut data IMF, Total kekayaan 40 orang
terkaya di Indonesia tahun 2013 mencapai Rp 1.100 Trilyun, sementara pendapatan negara tahun 2013 diperkirakan
sebesar 1.502 Trilyun. Artinya kekayaan 40 orang ini lebih dari 70 % dari total
pendapatan negara. Sementara, gaji Presiden SBY tahun 2013 sebesar Rp 113
juta/bulan--belum termasuk tunjangan, fasilitas dll-- dan Anggota DPR tahun
2013 sebesar 60 juta/bulan--belum termasuk tunjangan, fasilitas dll.
Di sisi lain, upah para direksi dan
komisaris di beberapa perusahaan swasta benar – benar berbanding terbalik
dengan upah para buruhnya yang giat bekerja dari pagi hingga malam. Berikut
adalah daftar upah para direksi dan komisaris pada tahun 2005, Direksi dan
Komisaris HM Sampoerna Tbk, rata-rata Rp1,06 miliar sebulan/orang (untuk 13
orang Direksi maupun Komisaris), Pendapatan Direksi dan Komisaris PT
Gudang Garam Tbk, rata-rata Rp 207 juta per bulan/orang. (untuk 10 Direksi dan
5 Komisaris), Pendapatan Direksi dan
Komisaris PT Indofood, rata-rata Rp 83,3 juta per bulan/orang(Untuk 10 Direksi
dan Komisaris),Direksi dan Komisarais PT Unggul Indah Cahaya, rata-rata Rp 200
juta per bulan/orang (Untuk 6 Direksi dan 6 Komisaris). Demikian halnya dengan
upah para direksi dan komisaris BUMN kita, Direksi PT Bank Mandiri rata-rata
614 juta/bulan tiap orangnya. (7 Direktur dan 7 Komisaris), Direksi dan
Komisaris Bank BRI rata-rata Rp 537,79 juta/bulan tiap orang (7 Direksi dan 7
Komisaris),Direksi dan Komisaris Bank BNI
rata-rata Rp 146,6 juta/bulan tiap orang (10 Direksi dan 7 Komisaris), Direksi dan Komisaris PT Perusahaan Gas Negara Tbk,
rata-rata Rp102,34 juta/bulan untuk Direksi ( 7 Direksi) dan rata-rata Rp 47,27
juta per bulan tiap orang. (7 Komisaris), Direksi dan Komisaris PT Aneka
Tambang Tbk rata-rata Rp 110 juta per bulan tiap orang (untuk 10 orang Direksi
dan Komisaris).
Sementara, Total kekayaan 40 orang terkaya
di Indonesia tahun 2013 mencapai Rp 1.100 Trilyun, padahal pendapatan negara
tahun 2013 diperkirakan sebesar 1.502 Trilyun. Artinya kekayaan 40 orang ini
lebih dari 70 % dari total pendapatan negara.
Para rampok baik dari luar maupun dalam
negeri menjadi tuan di negeri kita, sementara rakyat yang bekerja menjadi budak
di negeri sendiri.
III. Membangun Ekonomi Mandiri, Melepas
Ketergantungan untuk Kesejahteraan
Karena kita butuh sejahtera, Kita berkepentingan membangun ekonomi
mandiri, yang artinya; (1) tidak bergantung pada impor; (2) tidak bergantung
pada utang luar negeri, singkat kata tidak bergantung pada kapitalis
internasional. Ekonmi Mandiri itu bisa
dilaksanakan dengan jalan keluar sebagai berikut:
1. Membangun Industri Nasional yang kuat dan
mandiri di bawah kontrol rakyat, atau melakukan penataan ulang Industri
Nasional kita,
a. Agar rakyat Indonesia bisa sejahtera,
makmur, maka Industri dalam negeri harus dibangun dengan semaju-majunya, dalam
pengertian seluruh kekayaan alam yang ada di tanah dan air harus bisa diamanfaatkan,
diolah dengan sebaik-baiknya agar mencukupi kebutuhan rakyat Indonesia (bahkan
bisa digunakan untuk membantu rakyat di negeri-negeri lain yang membutuhkan).
Dan untuk membangun Industri Nasional yang
ditujukan untuk kepentingan mayoritas rakyat Indonesia, maka syarat utamanya
adalah adanya demokrasi sepenuh-sepenuhnya bukan demokrasi borjuis, bukan
demokrasi elit, demokrasi perwakilan.
Demokrasi sepenuh-sepenuhnya adalah demokrasi yang
melibatkan rakyat dalam setiap proses pengambilan keputusan-keputusan public
sehari-harinya (bukan hanya sekedar dilibatkan dalam pemilu-pemilu saja).
Dalam praktek hal ini bisa dilihat dalam kota Porto
Alegre, Rio Grande do Sul, Brazil, dalam menentukan tuntutannya (dalam
katagori) demokratisasi anggaran, atau yang mereka sebut Orcamento
Participativo (Participatory Budget/Anggaran Partisipatoris/AP) di mana warga
diposisikan memiliki hak untuk mendiskusikan kemudian memutuskan kebijakan-kebijakan
publik dan anggaran pemerintah. Lebih dari itu, warga juga turut memutuskan dan
mengawasi aspek-aspek kunci administrasi publik, anggaran kota dan investasi;
AP memang masih menganggap penting demokrasi
perwakilan namun dinilai belum mencukupi dalam proses peningkatan demokrasi
masyarakat. Dengan demikian, AP (demokrasi langsung) akan dihadapkan pada wakil
rakyat dan eksekutif (demokrasi perwakilan)—yang bahkan diposisikan tak boleh
memiliki hak veto. Aspek-aspek penting lainnya: AP tidak menganggap remeh
kapasitas warga dalam mengelola (governing) pemerintahan/anggaran; AP juga
diarahkan untuk meningkatkan solidaritas antar-warga dan menciptakan warga yang
sadar.
Demokrasi lansung seperti ini (yang harus
terus ditingkatkan kualitasnya—dan sangat mungkin meningkat karena kemajuan
teknologi, apalagi jika kesadaran demokrasi rakyatnya juga meningkat) yang akan
menjamin Industri Nasional berjalan sesuai dengan kepentingan rakyat.
Itulah sebabnya semua proses pembangunan Industri
Nasional harus dibawah kontrol rakyat, bukan seperti praktek BUMN sekarang ini,
yang sekalipun perusahan-perusahan tersebut milik Negara, namun kontrol
terhadap BUMN berada pada tangan Elit, bukan dibawah kontrol kaum buruh dan
rakyat.
Artinya secara politik, kontrol rakyat terhadap
Industrialisasi Nasional hany bisa dijalankan dengan efektif, jika kekuasaan
politik berada di tangan rakyat.
b.
Tahap awal, Teknologi harus ditingkatkan
(setingi-tingginya) untuk mengatasi persoalan-persoalan darurat
rakyat(kesehatan buruk, tempat tinggal kumuh, tak berpengetahuan dan persoalan
darurat lainnya) dan peningkatan tenaga produktif rakyat (pengetahuan,
ketrampilan, budaya; budaya belajar, budaya solidaritas, budaya berorganisasi,
budaya cinta teknologi, budaya demokratik).
Dan untuk mengejar ketinggalan teknologi –dengan
keadaan sekarang yang masih import teknologi hingga 92 %–,maka proses alih
teknologi dari perusahaan swasta terutama swasta Internasional—baik dengan cara
moderat maupun radikal – harus dilakukan, pengembangan riset-riset teknologi
yang dibutuhkan rakyat, pembangunan laboratorium-laboratorium hingga membuka
akses seluas-luas nya pada rakyat untuk mengembangkan dan mengusai teknologi
(termasuk tidak mematenkan capaian-capaian teknologi yang dibutuhkan rakyat)
Dengan semakin terselesaikan persoalan darurat dan
semakin meningkatnya tenaga produktif rakyat, maka akan semakin memajukan
Industri Nasional (paling tidak dalam tahap ini sudah mulai terlihat
pembangunan Industri Dasar yang kuat, seperti Industri Logam dan Baja, industri
optik dan fiber, Industri Kimia, Industri Mesin dan Industri Energi –ramah
lingkungan dan hemat).
Jika kebutuhan darurat rakyat belum bisa dihasilkan
sendiri oleh Industri Dalam Negeri, bisa saja dilakukan import—dalam arti
perdagangan dengan Negara lain—namun import yang dilakukan, tidak boleh
menimbulkan ketergantungan, namun harus diarahkan untuk mendorong Industri
Dalam Negeri untuk semakin mandiri
c.
Tahap selanjutnya (kemungkinan juga, dalam
beberapa sektor, bisa simultan dengan tahap pertama, yang belum selesai
diatas): peningkatan tenaga produktif agar teknologi bisa lebih tinggi lagi
(bukan sekadar untuk industri dasar), sebagai landasan material dan kognitif
invention dan innovation. Teknologi Industri pengolahan (manufaktur) juga harus
ditingkatkan termasuk kapasitas distribusinya, agar produksi barang bisa
bersifat massal (seluruh rakyat bisa mendapatkannya dengan mudah) dengan
kualitas yang baik, tentu saja dengan harga yang terjangkau (untuk masyarakat
tertentu bisa mendapatkannya dengan gratis, dan pada akhirnya semua rakyat akan
memperolehnya dengan gratis )
Sebagai negeri yang masih terbelakang pertaniannya,
maka dalam tahap ini, industry pertanian juga harus dimajukan, ditingkatkan
teknologinya dan akses rakyat terhadap tanah juga diperluas (bukan dalam makna
kepemilikan pribadi atas tanah, walaupun bisa saja ditahap-tahap awal masih ada
kompromi terhadap kepemilikan pribadi rakyat terhadap tanah pertanian, namun
secara terus menerus harus dijelaskan dan ditunjukan bukti bahwa pertanian kolektif
dengan teknologi yang maju justru jauh lebih menguntungkan bagi rakyat),
demikian juga halnya dengan industry perikanan.
2.
Penyelesaian masalah-masalah mendesak
rakyat:
Secara dialektis pembangunan Industri
Nasional yang tangguh, dimulai dengan penyelesaian masalah-masalah darurat
rakyat (dan semakin cepat dan banyak masalah darurat yang teratasi, akan
mendorong lebih maju lagi Industri Nasional), seperti (mungkin masih harus
disubsdidi dalam tahap awal) menyediakan bahan-bahan kebutuhan pokok cukup
gizi; kesehatan; pendidikan; penyediaan lapangan pekerjaan (sedapat mungkin
bukan padat karya, namun lapangan pekerjaan di pabrik-pabrik dengan teknologi
tinggi, dimana pabrik-pabrik dibangun sesuai dengan kebutuhan); bila masih
kekurangan lapangan pekejaan, barulah ditempatkan di sector padat karya; bila
masih belum juga tercukupi lapangan pekerjaan, maka diberikan subsidi (layak)
pengangguran; pembangunan kesadaran/kebudayaan revolusioner (cinta ilmu,
demokratik, solidaritas, militant, radikal dsb)
Karena tanpa massa yang sadar,
terorganisir, dan melawan, maka Industrialisasi Nasional (di bawah kontrol
rakyat; pengembangan demokrasi rakyat) tak akan berhasil; Tolak ukur berhasil
tidaknya penyelesaian tersebut di atas adalah: tingkat pengangguran berkurang;
dan demokrasi rakyat (rakyat bisa bersuara dan menentukan nasibnya sendiri)
berjalan; perbaikan lingkungan yang sudah sangat rusak; penyelesaian reformasi
agraria, baik secara ekonomi, teknologi, politik (perjuangan kelas di
pedesaan); dan sebagainya.
3. Skenario pembiayaan industrialisasi nasional
(di bawah kontrol rakyat)
Secara dialektis pula, pembangunan Industri Nasional dilakukan dengan
melakukan nasionalisasi segera (yang sudah sanggup dinasionalisasikan) seluruh
kekayaan/asset material dan finansial nasional (baik yang dikuasai pemerintah
maupun swasta, baik nasional maupun asing); periksa ulang negosiasi-negosiasi
kontrak—jangan sampai bagi hasil, royalti, dan pajaknya terlalu kecil/merugikan
rakyat; tolak atau tunda bayar utang (dengan kekuatan rakyat); sita
kekayaan-kekayaan hasil koruptor (dari jaman Orde Baru hingga sekarang) dengan
kekuatan rakyat, mengingat akan melibatkan tentara reaksioner; pajak progresif;
pembubaran, pembatasan/regulasi, atau pajak tinggi bagi transaksi-transaksi spekulatif;
memaksimalkan pencarian pendapatan dari sumber-sumber alam (dengan
memperhitungkan ekologi); pengaturan fiscal dan moneter (yang seusai dengan
tujuan-tujuan di atas); dan sebagainya.
4. Persoalan hubungan kita dalam perdagangan
antara Negara maupun hubungan-hubungan ekonomi politik lainnya.
Secara historis lahirnya perdagangan bebas seperti
sekarang ini—berikut lembaganya—adalah produk dari sistem kapitalisme yang
telah terbukti gagal mensejahterakan mayoritas rakyat di seluruh dunia,
termasuk mayoritas rakyat di Indonesia, sehingga secara tegas kita menolak
kapitalisme, demikian juga kita menolak perdagangan bebas model sekarang ini
yang hanya menguntungkan pemodal-pemodal internasional (Negara-negara
imperialis) dengan menggunakan lembaga-lembaga internasonalnnya, salah satunya
adalah WTO—juga ACFTA—
Apalagi mekanisme pengambilan keputusan di
WTO bukanlah mekanisme yang demokratis, dimana Negara-negara maju—terutama
Amerika, Kanada, Jepang, dan Uni Eropa—berulang kali membuat keputusan-keputusan
penting tanpa melibatkan anggota WTO yang lainnya—hingga juli 2009 terdapat 153
negara sebagai anggota WTO—atau dengan kata lain Negara-negara maju ini
melakukan konspirasi jahat untuk memenangkan kehendaknya pada negara-negara
lain terutama negara berkembang.
Belum lagi proses penyelesaian perselisihan
(Dispute Settlement Process/DSP) WTO, dimana sertiap negara anggota WTO
diijinkan untuk saling menentang undang-undang dan peraturan masing-masing
negara lainnya yang dianggap melanggar ketentuan WTO. Kasus-kasus kemudian
diputuskan oleh satu panel yang beranggotakan tiga birokrat perdagangan, yang
semata-mata berlandaskan pada kepentingan para pemodal, sehingga tidak
mengherankan jika setiap aturan mengenai kesehatan, pendidikan, lingkungan
maupun keputusan yang berkaitan dengen hajat hidup mayoritas rakyat di sebuah
negara, yang dipersoalan di WTO, diputuskan secaca illegal, walaupun itu
artinya melanggar konstitusi di negara-negara tersebut.
Dan perdagangan bebas kawasan tertentu/regional
(seperti perdagangan bebas ASEAN, perdagangan bebas ASEAN-CHINA, ASEAN-KOREA,
ASEAN-JEPANG dan lain sebagainya) harus mengikuti aturan main yang telah
ditetapkan di WTO, sehingga sudah pasti kepentingan yang mendasarinya juga
sama, yakni kepentingan para pemodal.
Sebagai pembanding dari WTO (sebut saja, lembaga
perdagangan kaum kapitalis), negara-negara di Amerika Latin, yang dipelopori
oleh negara sosialis Venezuela dan negara sosialis Kuba—kemudian disusul
Bolivia, Nikaragua, dan Ekuador–membentuk sebuah lembaga yang bernama
Alternatif Bolivarian untuk Amerika Latin (Alternative Bolivarian for Latin
America/ALBA), yang berlandaskan pada prisip saling melengkapi(bukan
kompetisi), solidaritas(bukan dominasi), kerja bersama (bukan ekploitasi) dan
penghormatan terhadap kedaulatan rakyat(bukan kekuasaan pemodal).
Kerjasama ini juga menghendaki sebuah demokrasi
baru berdasarkan partisipasi langsung rakyat dari bawah, dengan berbagai
mekanismenya, agar semua orang diberikan kesempatan berfikir, berpendapat,
berkreasi, bahkan melawan untuk kemajuan negeri.
Kuba dan Venezuela memelopori bentuk kerja sama ala
ALBA, lewat metode pertukaran dokter dengan minyak; operasi mata gratis bagi
penduduk miskin Venezuela ke Kuba; pertukaran minyak dengan bahan makanan dan
pertanian [bahkan sudah mencapai pertukaran bijih besi kualitas tinggi (ore)
dan bauksit dengan nikel]; dokter dengan mesin-mesin produksi; bantuan modal
untuk pengembangan energi minyak dan penjualan minyak murah. Kerjasama ini
mulai melibatkan Ekuador, Argentina dan Brazil (Petrosur), Colombia dan
Paraguay. Semuanya bertujuan demi kemajuan tenaga produktif dan ekonomi rakyat
di AL. Belakangan ini, Venezuela, (bahkan) menyodorkan gagasan untuk memperluas
sebagian proyek persatuan Amerika Latin-nya dengan Afrika.
IV. Perjuangan
Upah, Perjuangan Kesejahteraan Rakyat
Bukan saatnya lagi buruh membiarkan
dirinya diperas supaya para bos dan birokrasi berfoya-foya, bergelimang harta. Sejarah
kemenangan buruh adalah sejarah pergerakan, 8 jam kerja bukan dari kebaikan
pengusaha dan pemerintah. Metode perjuangannya pun bukan main-main, bahkan
nyawa bisa dipertaruhkan. Mulai dari aksi massa, pendudukan pusat-pusat
pemerintahan dan perusahaan, mogok kerja dan blokir jalan tol. Semua dilakukan
dengan kerja keras, komitmen dan kerendahan hati untuk bersatu, yang tentu saja
membutuhkan kompromi guna memberi ruang bagi penyatuan.
Persatuan berbagai aliansi yang terbentuk
dalam merespon penindasan buruh akan lebih baik bertemu dalam satu platform,
dalam hal ini adalah upah. Akan lebih baik lagi apabila bisa lebih dari satu
platform. Hal ini penting karena musuh (pengusaha, penguasa, polisi dan militer,
milisi sipil reaksioner dan penyokongnya) sudah terkonsolidasi.
Dalam situasi sekarang, dimana musuh sudah
terkonsolidasi bahkan siap melakukan serangan, maka dibutukan metode aksi yang
radikal seperti pendudukan sampai tuntutan dimenangkan, mogok nasional hingga pemblokiran
jalan tol. Syarat dari metode radikal seperti ini tentu adalah persatuan yang
memiliki komitmen kuat dan solid.
Selain metode aksi radikal, meraih
dukungan rakyat sekitar adalah penting karena perubahan tidak datang dari satu
kelompok saja tapi dari mayoritas rakyat. Maka, tidak terhindarkan lagi bagi
kita untuk menjelaskan segamblang-gamblangnya tentang perjuangan upah yang
sebenarnya adalah bagian dari perjuangan rakyat juga. Tak beda dengan
perjuangan untuk kesehatan dan pendidikan gratis berkualitas, transportasi
massal yang aman dan nyaman, perjuangan atas tanah bagi petani dan
lain-lainnya. Berdasarkan itulah, aliansi upah sebisa mungkin melibatkan
unsur-unsur rakyat lainnya seperti tani, kaum miskin kota, mahasiswa, pelajar
hingga kaum muda. Bila tidak, perjuangan upah akan sulit meraih dukungan dari
kelompok masyarakat lain karena hegemoni pemerintah didukung oleh media-media
mainstream sudah membangun opini negatif terkait perjuangan buruh.