Sunday, 15 September 2013

BERJUANG UNTUK UPAH DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT


SBY – Budiono bersama dengan jajarannya telah mendeklarasikan upah murah dalam bentuk Inpres Pembatasan Penetapan UMP (Upah Minimum Provinsi) beberapa waktu lalu. Inpres ini menyusul kebijakan sebelumnya yakni 4 kebijakan ekonomi penyelamat krisis, penetapan 48 obyek vital beserta komitmen pengamanannya bersama POLRI. Kapolri Timur Pradopo menyatakan akan menindak tegas siapapun yang mengganggu keamanan industri. Singkat kata, pemerintah melalui aparatusnya siap mengkriminalkan buruh yang berjuang untuk upah layak. Metode – metode perjuangan, baik aksi massa, sweeping, mogok, penutupan jalan tol dikatakan sebagai tindak pidana. Sementara, sekian tahun pengusaha melakukan tindak pelanggaran UU ketenagakerjaan, pemerintah bungkam. Bukan karena tidak sanggup tapi karena tidak mau. Atas nama investasi rejim ini sedang bermain-main dengan nasib buruh. Hak buruh disubordinatkan di bawah kepentingan investasi. Semua bicara hak buruh selayaknya dikorbankan demi penyelamatan krisis, demi investasi dan tidak satupun bicara atas kepentingan buruh.

I.      Pemodal dan Pemerintah Penyebab Krisis, Buruh Jadi Tumbal

Melemahnya rupiah hingga di angka hampir Rp 12.000,00, membuat pemerintah panik. Kebanggaan atas pertumbuhan ekonomi yang hampir 6% di pidato kenegaraan SBY pada peringatan kemerdekaan Indonesia tiba-tiba lenyap begitu saja. Bagaimana tidak? Pertumbuhan eknomi tersebut dibangun di atas fondasi yang rapuh. Tak heran, ketika AS mengeluarkan kebijakan Fiskal untuk menguatkan perekonomian dalam negerinya, rupiah seketika terjun bebas. Seiring dengan rasa panik itulah, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan pengusaha (bukan buruh dan rakyat seperti yang disebutkan sebelumnya yaitu 4 paket kebijakan ekonomi, penetapan 48 obyek vital negara beserta pengamanannya, dan terakhir Inpres pembatasan  kenaikan upah yang isinya upah buruh hanya boleh 10% di atas inflasi, khusus padat karya hanya boleh naik maksimal 5% di atas inflasi.

Ada beberapa faktor penyebab lemahnya rupiah diantaranya (1) impor besar; (2) kebutuhan dollar AS untuk membayar utang luar negeri; (3) pemindahan aset orang kaya dari rupiah ke dollar AS di luar negeri.

(1)      Impor besar bukan berita baru bagi Indonesia. Sejenak setelah rupiah merosot atas dollar AS, Menteri Keuangan Hatta Rajasa terus menyerukan untuk terus membeli. Sementara berbagai produk yang beredar di pasaran sebagian besar adalah barang impor yang jauh sebelumnya sudah menghancurkan produk lokal. Gempuran produk impor ini akibat penerapan pasar bebas. Indonesia mungkin satu-satunya negeri yang terkenal dengan Tempe namun tak sanggup menyediakan bahan baku tempe yakni kedelai.  Bahkan, Indonesia tidak hanya mengimpor bahan baku dan tekhnologi namun juga produk elektronik seperti HP yang menempati urutan nomor 5 terbanyak, hingga produk pertanian seperti ubi, sayur mayuran dan cabe rawit. Suatu hal yang ironis karena Indonesia adalah negeri yang kaya akan produk pertanian.

(2)      Ketergantungan impor juga tampak dalam impor tekhnologi untuk industri dalam negeri. Berdasarkan data Memperindag Indonesia mengimpor tekhnologi untuk Industri dalam negeri sebesar 92% dari negeri –negeri industri lainnya seperti Jepang, Amerika, Eropa, hingga China. Sementara, kontribusi tekhnologi  lokal untuk  industri dalam negeri hanya 1,69%. Realita ini cukup menjelaskan kenapa Indonesia lebih banyak bersandar pada industri padat karya yang mengandalkan tenaga kerja terampil, dibanding industri padat modal. Hal ini merupakan cermin tidak berkembangnya industri nasional Indonesia. Singkat kata, industri nasional Indonesia sangat rapuh sehingga mudah sekali terkena dampak krisis.

(3)      Kebutuhan dollar AS untuk membayar utang luar negeri. Indonesia tidak hanya dikenal rajin impor, namun juga rajin mengutang. Berdasarkan catatan pemerintah, utang luar negeri Indonesia hingga Juni 2013 mencapai Rp.2.036,14 Triliun (yang menghabiskan prosentase sebesar 17,3% (Rp 1,726.2 triliyun) dari APBN 2013 untuk membayarnya. Angka ini tentu jauh bila dibandingkan dana APBN untuk rakyat seperti pendidikan, kesehatan dan lainnya. Hingga Mei 2013 ini saja misalnya, realisasi pembayaran utang pemerintah sudah mencapai 34% dari total APBN hampir menguras 30% APBN senilai dengan Rp 104,725 miliar. Hal ini kontras dengan total anggaran kemiskinan yang hanya berjumlah sekitar 6,7% dari total APBN selama setahun atau hanya Rp 115,5 tiliun. Rasio utang terhadap pendapatannya mencapai tidak kurang dari 120 persen yang artinya, pendapatan seluruh penduduk selama setahun tidak cukup untuk utang tersebut. Karena itulah, APBN kita selalu pada titik krisis, terlebih saat dollar AS menguat dimana akibat penguatan dollar AS tersebut, utang luar negeri Indonesia naik hingga 30%. Sialnya, sebagian utang luar negeri tersebut, yakni utang luar negeri swasta jatuh tempo pada bulan September 2013 sebesar 25,7 miliar dolar AS. 

(4)      Pemindahan aset orang kaya dari rupiah ke dollar AS di luar negeri. Bank Indonesia memberikan statemen bahwa dana triliunan rupiah milik orang kaya Indonesia disimpan di negara luar, seperti Singapura dengan alasan keamanan.  Ketika rupiah melemah, orang-orang kaya Indonesia justru cenderung memborong dollar AS dengan harapan esok hari rupiah kembali melemah. Hal itu disampaikan sendiri oleh Kepala Ekonom Danareksa Research Institut, Purbaya Yudhi Sadewa. Total jumlah simpanan orang kaya Indonesia di Singapura mencapai Rp 1500 triliyun. Apapun alasannya yang jelas tindakan kaum kaya Indonesia ini menyebabkan rupiah kian melemah.

Melemahnya rupiah sendiri tidak lepas dari krisis keuangan global pada akhir 2007 lalu, yang berpusat di negeri Paman Sam dan menghebat pada tahun 2008  serta meluas di hampir seluruh negeri kapitalisme dunia lainnya seperti Yunani, Spanyol, Portugal, Latvia dan lain – lain. Krisis keuangan global tersebut diawali dengan bangkrutnya perusahan-perusahaan keuangan raksasa di AS seperti Merrill Lynch dan Lehman Brothers pada 2008, yang kemudian mendorong juga terjadinya krisis ekonomi, terutama di Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Kiat AS untuk keluar dari krisis ini dengan menerapkan kebijakan Fiskal demi menguatkan ekonomi dalam negeri kemudian memicu lemahnya rupiah yang kini sangat terasa bagi kita.

Dari berbagai uraian di atas, semakin terang di mata kita bahwa krisis bukan disebabkan oleh buruh dan rakyat. Sebaliknya, buruh dan rakyat yang terus bekerja keras setiap harinya baik di pabrik, di pasar-pasar tradisional, di warung-warung kaki lima, hingga para petani yang bekerja keras bercocok tanam. Namun atas nama melemahnya rupiah Pemerintah kembali mengorbankan kepentingan rakyat, dalam hal ini terutama sekali buruh dengan menekan upah hingga pada level terendah. Bila kita bukan penyebab krisis, mengapa kita jadi tumbal sementara para pemodal cari selamat dengan melarikan kekayaannya ke luar negeri.

II.    Politik Investasi Tanpa Kesejahteraan Buruh dan rakyat
Alasan lainnya bagi pemerintah menekan upah buruh adalah agar investor tidak lari dari Indonesia. pada kenyataannya, itu hanya menjadi senjata setiap tahun untuk menakuti buruh.  
Sebelum rupiah melemah, pemerintah sudah menjalankan investasi tanpa kesejahteraan buruh, dan kini ketika rupiah terus melemah, pemerintah makin menekan upah buruh pada level terendah. Bila upah minimum kurang minimum lagi dalam pandangan pemerintah maka upah buruh dibuat lebih minimum lagi, lebih murah lagi. 

Upah buruh harus dibatasi sementara keuntungan pemodal boleh tanpa batas. Bila dibandingkan dengan negeri lain di Asia, harga tenaga kerja Indonesia adalah yang termurah. Upah buruh di Indonesia adalah US$ 0.6/jam (Rp 5,400), sementara upah Fillipina dan Thailan serta Malaysia, masing-masing adalah  US$ 1.04, US$1.63 dan 2.88. Upah buruh di Indonesia adalah terendah di antara 10 negara ASEAN, bahkan bila dibandingkan dengan China dan India. Negeri-negeri Asia tersebut mengupah buruhnya lebih tinggi karena infrastruktur yang lebih baik, birokrasi yang lebih efektif dan teknologi yang lebih maju. Birokrasi yang efisien, Bersih Korupsi dan Infrastruktur yang baik, sebenarnya adalah daya tarik bagi investor.

Padahal, tanpa upah murah pun Indonesia adalah negeri yang strategis dan membuat para pemodal tergiur untuk menanamkan modalnya ke Indonesia. Terhitung dari awal tahun lalu hingga tahun ini kondisi investasi masih terbilang kondusif dan meningkat. Pemerintah sendiri sudah memprediksi investasi bisa melampaui angka Rp 283,5 Triliun atau tumbuh sekitar 37% dibanding tahun lalu. Laporan ADB sendiri menyebutkan bahwa hambatan utama investor adalah birokrasi yang korup dan buruknya insfrastruktur. Ketua Dewan Ekonomi Nasional Chairul Tanjung bahkan menyebutkan 3 hambatan utama investasi adalah korupsi, birokrasi dan infrastruktur. Ketiga hal tersebut adalah persoalan utama di Indonesia. Karena enggan memperbaiki ketiga hal tersebut, pemerintah lebih memilih mengorbankan buruh.

Persoalan korupsi di Indonesia misalnya, terakhir kita dikejutkan dengan data dari Ketua KPK, Abraham Samad, dimana potensi pendapatan negara sebesar Rp 7,200 triliun hilang per tahunnya. Hilangnya potensi pendapatan negara itu dikarenakan penyelewengan dari pengusaha tambang asing (investor tambang) yang tidak membayar pajak dan royalti kepada negara. Pengusaha tambang asing tersebut, menurut Abraham Samad sudah menguasa 70% dari 45 blog migas Indonesia. Apabila ditotal, tambah Samad, pajak dan royalti yang dibayarkan dari blok migas, batubara, dan nikel setiap tahunnya bisa mencapai Rp 20,000 triliun. Sayang, pemerintah tidak tegas dalam regulasi dan kebijakan. Belum lagi kerugian negara akibat korupsi para pejabat atau birokrasi kita hingga kurun waktu semester I 2013 mencapai Rp 3,3 Triliun. Yang lebih mengejutkan lagi, Samad menuturkan bila pendapatan negara itu dimaksimalkan dengan menindak berbagai penyelewengan, maka bila dibagikan ke rakyat, setiap orang bisa memperoleh penghasilan Rp 20 juta/ bulan. Bandingkan dengan upah kita saat ini yang minim. Fakta yang dituturkan oleh Samad tersebut, adalah cerminan dari kebijakan investasi tanpa kesejahteraan rakyat dan buruh. Serta pandangan yang melihat kemajuan ekonomi dari keuntungan investor bukan dari kesejahteraan rakyat dan buruh.

Sekarang, mari kita tengok hambatan ke dua investasi, yakni birokrasi kita, baik Presiden beserta jajarannya maupun para anggota dewan. Birokrasi kita, pemerintah kita yang terpilih setiap lima tahun sekali tidak hanya gemar sekali korupsi (dilihat dari banyaknya kasus korupsi di pemerintahan) namun juga sangat gemar hidup mewah. Bila upah buruh Indonesia adalah terendah ke tiga sedunia, maka para pimpinan negara kita menempati urutan ke tiga di dunia. Berdasarkn data Economis.com, Indonesia menduduki peringkat ke tiga di dunia dengan gaji tertinggi. Posisi Indonesia ini berada di bawah Kenya dan Singapura. Sementara menurut data IMF, Total kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia tahun 2013 mencapai Rp 1.100 Trilyun, sementara pendapatan negara tahun 2013 diperkirakan sebesar 1.502 Trilyun. Artinya kekayaan 40 orang ini lebih dari 70 % dari total pendapatan negara. Sementara, gaji Presiden SBY tahun 2013 sebesar Rp 113 juta/bulan--belum termasuk tunjangan, fasilitas dll-- dan Anggota DPR tahun 2013 sebesar 60 juta/bulan--belum termasuk tunjangan, fasilitas dll.

Di sisi lain, upah para direksi dan komisaris di beberapa perusahaan swasta benar – benar berbanding terbalik dengan upah para buruhnya yang giat bekerja dari pagi hingga malam. Berikut adalah daftar upah para direksi dan komisaris pada tahun 2005, Direksi dan Komisaris HM Sampoerna Tbk, rata-rata Rp1,06 miliar sebulan/orang (untuk 13 orang Direksi maupun Komisaris), Pendapatan Direksi dan Komisaris PT Gudang Garam Tbk, rata-rata Rp 207 juta per bulan/orang. (untuk 10 Direksi dan 5 Komisaris), Pendapatan Direksi dan Komisaris PT Indofood, rata-rata Rp 83,3 juta per bulan/orang(Untuk 10 Direksi dan Komisaris),Direksi dan Komisarais PT Unggul Indah Cahaya, rata-rata Rp 200 juta per bulan/orang (Untuk 6 Direksi dan 6 Komisaris). Demikian halnya dengan upah para direksi dan komisaris BUMN kita, Direksi PT Bank Mandiri rata-rata 614 juta/bulan tiap orangnya. (7 Direktur dan 7 Komisaris), Direksi dan Komisaris Bank BRI rata-rata Rp 537,79 juta/bulan tiap orang (7 Direksi dan 7 Komisaris),Direksi dan Komisaris Bank BNI rata-rata Rp 146,6 juta/bulan tiap orang (10 Direksi dan 7 Komisaris), Direksi dan Komisaris PT Perusahaan Gas Negara Tbk, rata-rata Rp102,34 juta/bulan untuk Direksi ( 7 Direksi) dan rata-rata Rp 47,27 juta per bulan tiap orang. (7 Komisaris), Direksi dan Komisaris PT Aneka Tambang Tbk rata-rata Rp 110 juta per bulan tiap orang (untuk 10 orang Direksi dan Komisaris).

Sementara, Total kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia tahun 2013 mencapai Rp 1.100 Trilyun, padahal pendapatan negara tahun 2013 diperkirakan sebesar 1.502 Trilyun. Artinya kekayaan 40 orang ini lebih dari 70 % dari total pendapatan negara.
Para rampok baik dari luar maupun dalam negeri menjadi tuan di negeri kita, sementara rakyat yang bekerja menjadi budak di negeri sendiri.

III.  Membangun Ekonomi Mandiri, Melepas Ketergantungan untuk Kesejahteraan
Karena kita butuh sejahtera, Kita berkepentingan membangun ekonomi mandiri, yang artinya; (1) tidak bergantung pada impor; (2) tidak bergantung pada utang luar negeri, singkat kata tidak bergantung pada kapitalis internasional.  Ekonmi Mandiri itu bisa dilaksanakan dengan jalan keluar sebagai berikut:

1.  Membangun Industri Nasional yang kuat dan mandiri di bawah kontrol rakyat, atau melakukan penataan ulang Industri Nasional kita,
a.      Agar rakyat Indonesia bisa sejahtera, makmur, maka Industri dalam negeri harus dibangun dengan semaju-majunya, dalam pengertian seluruh kekayaan alam yang ada di tanah dan air harus bisa diamanfaatkan, diolah dengan sebaik-baiknya agar mencukupi kebutuhan rakyat Indonesia (bahkan bisa digunakan untuk membantu rakyat di negeri-negeri lain yang membutuhkan).

Dan untuk membangun Industri Nasional yang ditujukan untuk kepentingan mayoritas rakyat Indonesia, maka syarat utamanya adalah adanya demokrasi sepenuh-sepenuhnya bukan demokrasi borjuis, bukan demokrasi elit, demokrasi perwakilan.

Demokrasi sepenuh-sepenuhnya adalah demokrasi yang melibatkan rakyat dalam setiap proses pengambilan keputusan-keputusan public sehari-harinya (bukan hanya sekedar dilibatkan dalam pemilu-pemilu saja).

Dalam praktek hal ini bisa dilihat dalam kota Porto Alegre, Rio Grande do Sul, Brazil, dalam menentukan tuntutannya (dalam katagori) demokratisasi anggaran, atau yang mereka sebut Orcamento Participativo (Participatory Budget/Anggaran Partisipatoris/AP) di mana warga diposisikan memiliki hak untuk mendiskusikan kemudian memutuskan kebijakan-kebijakan publik dan anggaran pemerintah. Lebih dari itu, warga juga turut memutuskan dan mengawasi aspek-aspek kunci administrasi publik, anggaran kota dan investasi;

AP memang masih menganggap penting demokrasi perwakilan namun dinilai belum mencukupi dalam proses peningkatan demokrasi masyarakat. Dengan demikian, AP (demokrasi langsung) akan dihadapkan pada wakil rakyat dan eksekutif (demokrasi perwakilan)—yang bahkan diposisikan tak boleh memiliki hak veto. Aspek-aspek penting lainnya: AP tidak menganggap remeh kapasitas warga dalam mengelola (governing) pemerintahan/anggaran; AP juga diarahkan untuk meningkatkan solidaritas antar-warga dan menciptakan warga yang sadar.
Demokrasi lansung seperti ini (yang harus terus ditingkatkan kualitasnya—dan sangat mungkin meningkat karena kemajuan teknologi, apalagi jika kesadaran demokrasi rakyatnya juga meningkat) yang akan menjamin Industri Nasional berjalan sesuai dengan kepentingan rakyat.

Itulah sebabnya semua proses pembangunan Industri Nasional harus dibawah kontrol rakyat, bukan seperti praktek BUMN sekarang ini, yang sekalipun perusahan-perusahan tersebut milik Negara, namun kontrol terhadap BUMN berada pada tangan Elit, bukan dibawah kontrol kaum buruh dan rakyat.

Artinya secara politik, kontrol rakyat terhadap Industrialisasi Nasional hany bisa dijalankan dengan efektif, jika kekuasaan politik berada di tangan rakyat.
b.      Tahap awal, Teknologi harus ditingkatkan (setingi-tingginya) untuk mengatasi persoalan-persoalan darurat rakyat(kesehatan buruk, tempat tinggal kumuh, tak berpengetahuan dan persoalan darurat lainnya) dan peningkatan tenaga produktif rakyat (pengetahuan, ketrampilan, budaya; budaya belajar, budaya solidaritas, budaya berorganisasi, budaya cinta teknologi, budaya demokratik).

Dan untuk mengejar ketinggalan teknologi –dengan keadaan sekarang yang masih import teknologi hingga 92 %–,maka proses alih teknologi dari perusahaan swasta terutama swasta Internasional—baik dengan cara moderat maupun radikal – harus dilakukan, pengembangan riset-riset teknologi yang dibutuhkan rakyat, pembangunan laboratorium-laboratorium hingga membuka akses seluas-luas nya pada rakyat untuk mengembangkan dan mengusai teknologi (termasuk tidak mematenkan capaian-capaian teknologi yang dibutuhkan rakyat)

Dengan semakin terselesaikan persoalan darurat dan semakin meningkatnya tenaga produktif rakyat, maka akan semakin memajukan Industri Nasional (paling tidak dalam tahap ini sudah mulai terlihat pembangunan Industri Dasar yang kuat, seperti Industri Logam dan Baja, industri optik dan fiber, Industri Kimia, Industri Mesin dan Industri Energi –ramah lingkungan dan hemat).

Jika kebutuhan darurat rakyat belum bisa dihasilkan sendiri oleh Industri Dalam Negeri, bisa saja dilakukan import—dalam arti perdagangan dengan Negara lain—namun import yang dilakukan, tidak boleh menimbulkan ketergantungan, namun harus diarahkan untuk mendorong Industri Dalam Negeri untuk semakin mandiri

c.     Tahap selanjutnya (kemungkinan juga, dalam beberapa sektor, bisa simultan dengan tahap pertama, yang belum selesai diatas): peningkatan tenaga produktif agar teknologi bisa lebih tinggi lagi (bukan sekadar untuk industri dasar), sebagai landasan material dan kognitif invention dan innovation. Teknologi Industri pengolahan (manufaktur) juga harus ditingkatkan termasuk kapasitas distribusinya, agar produksi barang bisa bersifat massal (seluruh rakyat bisa mendapatkannya dengan mudah) dengan kualitas yang baik, tentu saja dengan harga yang terjangkau (untuk masyarakat tertentu bisa mendapatkannya dengan gratis, dan pada akhirnya semua rakyat akan memperolehnya dengan gratis )

Sebagai negeri yang masih terbelakang pertaniannya, maka dalam tahap ini, industry pertanian juga harus dimajukan, ditingkatkan teknologinya dan akses rakyat terhadap tanah juga diperluas (bukan dalam makna kepemilikan pribadi atas tanah, walaupun bisa saja ditahap-tahap awal masih ada kompromi terhadap kepemilikan pribadi rakyat terhadap tanah pertanian, namun secara terus menerus harus dijelaskan dan ditunjukan bukti bahwa pertanian kolektif dengan teknologi yang maju justru jauh lebih menguntungkan bagi rakyat), demikian juga halnya dengan industry perikanan.

2.       Penyelesaian masalah-masalah mendesak rakyat:
Secara dialektis pembangunan Industri Nasional yang tangguh, dimulai dengan penyelesaian masalah-masalah darurat rakyat (dan semakin cepat dan banyak masalah darurat yang teratasi, akan mendorong lebih maju lagi Industri Nasional), seperti (mungkin masih harus disubsdidi dalam tahap awal) menyediakan bahan-bahan kebutuhan pokok cukup gizi; kesehatan; pendidikan; penyediaan lapangan pekerjaan (sedapat mungkin bukan padat karya, namun lapangan pekerjaan di pabrik-pabrik dengan teknologi tinggi, dimana pabrik-pabrik dibangun sesuai dengan kebutuhan); bila masih kekurangan lapangan pekejaan, barulah ditempatkan di sector padat karya; bila masih belum juga tercukupi lapangan pekerjaan, maka diberikan subsidi (layak) pengangguran; pembangunan kesadaran/kebudayaan revolusioner (cinta ilmu, demokratik, solidaritas, militant, radikal dsb)
Karena tanpa massa yang sadar, terorganisir, dan melawan, maka Industrialisasi Nasional (di bawah kontrol rakyat; pengembangan demokrasi rakyat) tak akan berhasil; Tolak ukur berhasil tidaknya penyelesaian tersebut di atas adalah: tingkat pengangguran berkurang; dan demokrasi rakyat (rakyat bisa bersuara dan menentukan nasibnya sendiri) berjalan; perbaikan lingkungan yang sudah sangat rusak; penyelesaian reformasi agraria, baik secara ekonomi, teknologi, politik (perjuangan kelas di pedesaan); dan sebagainya.

3.      Skenario pembiayaan industrialisasi nasional (di bawah kontrol rakyat)

Secara dialektis pula, pembangunan Industri Nasional dilakukan dengan melakukan nasionalisasi segera (yang sudah sanggup dinasionalisasikan) seluruh kekayaan/asset material dan finansial nasional (baik yang dikuasai pemerintah maupun swasta, baik nasional maupun asing); periksa ulang negosiasi-negosiasi kontrak—jangan sampai bagi hasil, royalti, dan pajaknya terlalu kecil/merugikan rakyat; tolak atau tunda bayar utang (dengan kekuatan rakyat); sita kekayaan-kekayaan hasil koruptor (dari jaman Orde Baru hingga sekarang) dengan kekuatan rakyat, mengingat akan melibatkan tentara reaksioner; pajak progresif; pembubaran, pembatasan/regulasi, atau pajak tinggi bagi transaksi-transaksi spekulatif; memaksimalkan pencarian pendapatan dari sumber-sumber alam (dengan memperhitungkan ekologi); pengaturan fiscal dan moneter (yang seusai dengan tujuan-tujuan di atas); dan sebagainya.

4.   Persoalan hubungan kita dalam perdagangan antara Negara maupun hubungan-hubungan ekonomi politik lainnya.

Secara historis lahirnya perdagangan bebas seperti sekarang ini—berikut lembaganya—adalah produk dari sistem kapitalisme yang telah terbukti gagal mensejahterakan mayoritas rakyat di seluruh dunia, termasuk mayoritas rakyat di Indonesia, sehingga secara tegas kita menolak kapitalisme, demikian juga kita menolak perdagangan bebas model sekarang ini yang hanya menguntungkan pemodal-pemodal internasional (Negara-negara imperialis) dengan menggunakan lembaga-lembaga internasonalnnya, salah satunya adalah WTO—juga ACFTA—
Apalagi mekanisme pengambilan keputusan di WTO bukanlah mekanisme yang demokratis, dimana Negara-negara maju—terutama Amerika, Kanada, Jepang, dan Uni Eropa—berulang kali membuat keputusan-keputusan penting tanpa melibatkan anggota WTO yang lainnya—hingga juli 2009 terdapat 153 negara sebagai anggota WTO—atau dengan kata lain Negara-negara maju ini melakukan konspirasi jahat untuk memenangkan kehendaknya pada negara-negara lain terutama negara berkembang.

Belum lagi proses penyelesaian perselisihan (Dispute Settlement Process/DSP) WTO, dimana sertiap negara anggota WTO diijinkan untuk saling menentang undang-undang dan peraturan masing-masing negara lainnya yang dianggap melanggar ketentuan WTO. Kasus-kasus kemudian diputuskan oleh satu panel yang beranggotakan tiga birokrat perdagangan, yang semata-mata berlandaskan pada kepentingan para pemodal, sehingga tidak mengherankan jika setiap aturan mengenai kesehatan, pendidikan, lingkungan maupun keputusan yang berkaitan dengen hajat hidup mayoritas rakyat di sebuah negara, yang dipersoalan di WTO, diputuskan secaca illegal, walaupun itu artinya melanggar konstitusi di negara-negara tersebut.

Dan perdagangan bebas kawasan tertentu/regional (seperti perdagangan bebas ASEAN, perdagangan bebas ASEAN-CHINA, ASEAN-KOREA, ASEAN-JEPANG dan lain sebagainya) harus mengikuti aturan main yang telah ditetapkan di WTO, sehingga sudah pasti kepentingan yang mendasarinya juga sama, yakni kepentingan para pemodal.

Sebagai pembanding dari WTO (sebut saja, lembaga perdagangan kaum kapitalis), negara-negara di Amerika Latin, yang dipelopori oleh negara sosialis Venezuela dan negara sosialis Kuba—kemudian disusul Bolivia, Nikaragua, dan Ekuador–membentuk sebuah lembaga yang bernama Alternatif Bolivarian untuk Amerika Latin (Alternative Bolivarian for Latin America/ALBA), yang berlandaskan pada prisip saling melengkapi(bukan kompetisi), solidaritas(bukan dominasi), kerja bersama (bukan ekploitasi) dan penghormatan terhadap kedaulatan rakyat(bukan kekuasaan pemodal).

Kerjasama ini juga menghendaki sebuah demokrasi baru berdasarkan partisipasi langsung rakyat dari bawah, dengan berbagai mekanismenya, agar semua orang diberikan kesempatan berfikir, berpendapat, berkreasi, bahkan melawan untuk kemajuan negeri.

Kuba dan Venezuela memelopori bentuk kerja sama ala ALBA, lewat metode pertukaran dokter dengan minyak; operasi mata gratis bagi penduduk miskin Venezuela ke Kuba; pertukaran minyak dengan bahan makanan dan pertanian [bahkan sudah mencapai pertukaran bijih besi kualitas tinggi (ore) dan bauksit dengan nikel]; dokter dengan mesin-mesin produksi; bantuan modal untuk pengembangan energi minyak dan penjualan minyak murah. Kerjasama ini mulai melibatkan Ekuador, Argentina dan Brazil (Petrosur), Colombia dan Paraguay. Semuanya bertujuan demi kemajuan tenaga produktif dan ekonomi rakyat di AL. Belakangan ini, Venezuela, (bahkan) menyodorkan gagasan untuk memperluas sebagian proyek persatuan Amerika Latin-nya dengan Afrika.

IV.  Perjuangan Upah, Perjuangan Kesejahteraan Rakyat
Bukan saatnya lagi buruh membiarkan dirinya diperas supaya para bos dan birokrasi berfoya-foya, bergelimang harta. Sejarah kemenangan buruh adalah sejarah pergerakan, 8 jam kerja bukan dari kebaikan pengusaha dan pemerintah. Metode perjuangannya pun bukan main-main, bahkan nyawa bisa dipertaruhkan. Mulai dari aksi massa, pendudukan pusat-pusat pemerintahan dan perusahaan, mogok kerja dan blokir jalan tol. Semua dilakukan dengan kerja keras, komitmen dan kerendahan hati untuk bersatu, yang tentu saja membutuhkan kompromi guna memberi ruang bagi penyatuan.
Persatuan berbagai aliansi yang terbentuk dalam merespon penindasan buruh akan lebih baik bertemu dalam satu platform, dalam hal ini adalah upah. Akan lebih baik lagi apabila bisa lebih dari satu platform. Hal ini penting karena musuh (pengusaha, penguasa, polisi dan militer, milisi sipil reaksioner dan penyokongnya) sudah terkonsolidasi.

Dalam situasi sekarang, dimana musuh sudah terkonsolidasi bahkan siap melakukan serangan, maka dibutukan metode aksi yang radikal seperti pendudukan sampai tuntutan dimenangkan, mogok nasional hingga pemblokiran jalan tol. Syarat dari metode radikal seperti ini tentu adalah persatuan yang memiliki komitmen kuat dan solid.

Selain metode aksi radikal, meraih dukungan rakyat sekitar adalah penting karena perubahan tidak datang dari satu kelompok saja tapi dari mayoritas rakyat. Maka, tidak terhindarkan lagi bagi kita untuk menjelaskan segamblang-gamblangnya tentang perjuangan upah yang sebenarnya adalah bagian dari perjuangan rakyat juga. Tak beda dengan perjuangan untuk kesehatan dan pendidikan gratis berkualitas, transportasi massal yang aman dan nyaman, perjuangan atas tanah bagi petani dan lain-lainnya. Berdasarkan itulah, aliansi upah sebisa mungkin melibatkan unsur-unsur rakyat lainnya seperti tani, kaum miskin kota, mahasiswa, pelajar hingga kaum muda. Bila tidak, perjuangan upah akan sulit meraih dukungan dari kelompok masyarakat lain karena hegemoni pemerintah didukung oleh media-media mainstream sudah membangun opini negatif terkait perjuangan buruh. 

No comments:

Post a Comment