…
kami satu :
buruh
kami punya
tenaga
jika kami satu
hati
kami tahu mesin
berhenti
sebab kami
adalah nyawa
yang
menggerakkannya
(Wiji Thukul,
“Makin Terang Bagi Kami”)
Perjuangan, kematian, dan transendensi adalah sebuah rangkaian takdir kemanusiaan yang sambung menyambung. Kita punya pilihan untuk membela nasib manusia [yang kebetulan berprofesi] buruh sebagai tanggung jawab kemanusiaan kita. Ia punya nilai sakral. Itulah yang dilakukan oleh Chun Te-il, tokoh besar perjuangan buruh Korea. Ia mati muda akibat membakar diri dalam usia 22 tahun saat berhadapan dengan penguasa. Sehingga, masuk serikat bukan lagi wacana karena hanya melalui saluran itulah perjuangan buruh lebih bermakna. Setiap gerakan pasti berkonsekuensi ke darah daging juga sehingga teologi dan kultur kita meresap di dalamnya.
Ideologi buruh tidak hanya ditemui dan dirasakan dalam ruang rapat. Aksi peringatan May Day, audiensi dengan parlemen, atau training legislasi, itu semua cuma program teknis. Bentuk, besaran, dan dinamikanya bisa beragam. Kegiatan semacam itu bisa berlangsung karena mungkin akibat efek sentimentil buruh bergaji rendah. Bila kita bergaji belasan hingga dua puluhan juta rupiah perbulan, sedangkan pada saat yang sama UMR cuma Rp1 juta rupiah, belum tentu sebuah aksi buruh bisa terlaksana. Jangankan membuat kegiatan, sekadar berkumpul saja mungkin sulit. Akan muncul alasan-alasan pribadi agar kita dimaklumi untuk absen rapat atau mengadvokasi rekan buruh lain.
Artinya, alam bawah sadar kita masih dalam jaring kapitalisme. Ada posisi dalam struktur sosial yang kita nikmati dan tidak ingin kita ubah. Istilah Lenin, masih ada pikiran-pikiran borjuis dalam minda kita sehingga kita ambigu dalam bersikap. Perasaan ajeg dan mapan dalam kondisi ini disebut feodal, citra kapitalis dalam wajah kultural. Inilah penjara terbesar kita, dajjal atau iblisnya minda kita, yang menghambat kenapa gerakan buruh tidak muncul, apalagi militan dan progresif. Andai pun ada, hanya sporadis dan terakumulasi pada buruh bergaji rendahan, yang memang terpaksa melawan perilaku korporasi dan kebijakan negara sekeras mungkin daripada mati perlahan-lahan.
Buruh feodal itu bukan orang bodoh, bukan orang yang tidak punya kekuasaan struktural, bukan pula orang yang tidak punya hati nurani. Namun, watak ingin selamat sendiri dan perlakuan istimewa dari manajemen membuat rasa kemanusiaan hilang dalam sekejap. Apa yang bisa kita tuntut dari orang-orang yang kerjaannya pergi pagi pulang sore dari Senin hingga Jumat hanya untuk bekerja, dan Sabtu-Minggu untuk bercengkrama bersama keluarga?
Buruh penjilat yang pintar membaca situasi itu diistilahkan Chun Tae-il sebagai ‘orang pintar dan bijaksana’. Sedangkan Tae-il lebih memilih di posisi ‘orang bodoh’ yang mau begitu saja melawan manajemen. Tae-il ‘bodoh’ karena ingin nilai-nilai kemanusiaannya yang selama ini dirampas atas nama jam kerja yang panjang, gaji yang rendah, dan sistem yang tidak jelas, bisa dikembalikan ke ‘buruh bodoh’.
Korporasi pun juga tidak kalah gesitnya dalam menyiasati kondisi tersebut. Panggung musik dan kompetisi olahraga diadakan dalam menyambut hari buruh. Kesannya memang baik. Namun dibalik itu semua tersembul upaya memecah konsentrasi buruh agar mereka sibuk di tempatnya masing-masing dan tidak termobilisasi dalam sebuah aksi massa. Demontrasi adalah proses aktualisasi diri. Kapan lagi bisa bolos kerja dengan tenang, dan masuk TV pula?
Buruh pada dasarnya adalah tungku kapitalisme. Mereka bekerja bukan atas kemauannya sendiri. Keberadaan serikat buruh pun dalam konteks ini adalah keterpaksaan lanjutan sebagai konsekuensi ketertindasan. Serikat itu ada dalam hati buruh mulai pukul 08:00 hingga 17:00. Tapi setelah jam 17 hingga 7 pagi tidak ada serikat. Handphone yang off setibanya di rumah buruh bisa dimaknai sebagai ketidakinginan diusik dengan masalah industrial.
Realitas, basis ideologi
Ideologi tidak lepas dari tiga hal yang ketiga hal tersebut mengarah pada penyelesaian satu problem. Problemnya adalah realitas. Realitas adalah kenyataan. Mungkinkah kita dapat melepaskan diri dari kenyataan? Tidak mungkin. Pada saat yang sama, kita tahu bahwa kenyataan itu terbatas. Keterbatasan itu reduksi. Sebuah reduksi sangat dicurigai sebagai konstruksi, bikinan, rekayasa, manipulasi, ekspolitasi suatu sistem lain.
Bila kenyataan itu sesuatu yang terbatas, bagaimana mungkin kita tidak pernah bisa lepas dari kenyataan? Darimana kita bisa harus menganggap kenyataan sebagai sesuatu yang permanen atau nisbi?
Bila realitas hanya dipahami sebagai kenyataan [sosial] saja dan kita memahami bahwa kita tidak bisa lepas dari realitas sosial itu, sedangkan kenyataannya realitas sosial itu sesuatu yang terbatas, sesuatu yang empirikal, material, dimensional, maka pada saat itu juga kita sudah masuk dalam pikiran materialistik. Struktur pengetahuan kita, sampai kapan pun juga materialis. Kita beragama, agama kita materialis.
Sifat ideologi materialis adalah mempriorkan simbolisasi dan mengingkari substansi. Dalam kitab suci disebutkan bahwa yang namanya surga adalah sebuah tempat yang di dalamnya ada sungai-sungai susu dan madu, pepohonan rindang yang berbuah lebat. Bagi warga Timur Tengah, penggambaran surga seperti itu mungkin sudah luar biasa karena tanah mereka gersang dan tidak ada sungai yang jernih.
Sedangkan bagi warga Nusantara, penggambaran surga semacam itu tidak luarbiasa karena alam Nusantara memang elok nian. Apabila realitas dipahami sebagai kenyataan empiris saja, maka kita pasti sudah tersungkur dalam ideologi materialisme. Begitu pun, ketika anda naik haji atau ziarah ke Yerusalem, tahajud atau kebaktian, ke masjid atau gereja, semua ibadah itu adalah ibadah materialis. Ketika ibadah itu dilakukan, maka pasti ada yang struktur penzaliman bagi orang lain.
Kita tidak boleh peduli dengan struktur teologi yang dipakai seseorang untuk membenarkan perilaku sosial jahatnya. Tapi mengapa masih banyak kalangan yang tidak bisa memisahkan perilaku keagamaan dengan nilai ajaran itu sendiri? Karena struktur pengetahuannya tidak tertata dengan utuh. Biasanya kerancuan berpikir (logic fallacy) terjadi karena tidak terbiasa mengasah logika dan ogah mengkaji filsafat.
Bentuk pengaburan realitas inilah yang mesti kita bongkar. Seolah-olah pencitraan langit karena kesalehan individual sudah cukup menutupi perilaku zalimnya di masyarakat buruh. Yang menghambat kita melakukan pembongkaran karena realitas-realitas langit itu dianggap lebih nyata daripada realitas sosialnya. Padahal penguasa modal berjubah kesalehan itu sendiri adalah makhluk material, kasat mata, dan bukan sebentuk hologram. Yang tidak terbiasa dilakukan oleh banyak kalangan adalah memposisikan secara bijak suatu realitas yang terukur dengan realitas lain yang tidak terukur.
Berarti realitas tidak hanya berkenaan dengan kenyataan, yang terbatas, berdimensi, dsb. Realitas punya makna selain kenyataan. Sesuai dengan asal katanya, real-itas, riil, maka realitas juga punya arti keberadaan. Keberadaan bermakna lebih luas dari kenyataan. Kenyataan hanya mengacu pada dimensi material, sedangkan keberadaan mengacu pula pada wilayah non-material.
Artinya realitas itu sesuatu yang tidak terbatasi oleh alam materi saja, namun juga meliputi alam-alam non-material. Tentu saja munculnya pengetahuan didahului oleh kesadaran subjek akan objek luar dan kemenyatuan dengan objek luar tersebut. Mustahil kita bisa mengetahui ada tembok di hadapan kita bila tidak ada kesadaran kita subjek dan tembok objek sebagai dua hal yang berbeda. Selanjutnya kehadiran tembok tidak akan bermakna ketika kita tidak memahami konsekuensi adanya tembok di hadapan kita yaitu terhalanginya kita untuk melangkah ke depan atau tempat lain.
Artinya, kesadaran itu akan melahirkan pada tindakan, apakah tembok itu kita diamkan begitu saja, atau kita robohkan, atau kita mencari alternatif jalan lain. Sistem pengetahuan ini akan menyadarkan kita tentang keterkaitan antara alam satu dengan yang lainnya. Sebuah benda material yang dicerai-beraikan belum tentu terlihat keberadaannya, apalagi benda non-material. Namun kita sadari bahwa tidak ada alam yang terputus atau terpisah secara tegas.
Begitu pun dengan buruh. Buruh bisa menyikapi manajemen perusahaan yang tidak menganggap buruh sebagai aset sebagai bagian dari takdir Tuhan. Atau disikapi secara individual agar bisa meraih kedudukan istimewa di mata atasan (baca: injak buruh yang lebih di bawah dan jilat yang di atas). Atau kesalahan sistem itu disikapi sebagai sinyal pembongkaran sistem lama dan penggantian dengan sistem perburuhan yang lebih manusiawi. Opini tiap buruh bisa berbeda-beda dengan perusahaan dan mengisyaratkan adanya perpecahan internal. Dengan keberadaan serikat, dialektika di antara sesama buruh bisa dilokalisir dan buruh selalu punya sikap politik yang solid.
Membungkus Isu
“Great acts are made up of small deeds.” (Tindakan besar tersusun dari tindakan-tindakan kecil) (Lao Tzu, 600 – 531 SM).
Kesadaran adalah efek dari eksistensi/realitas/keberadaan/wujud. Ada keberadaan yang dimensional, ada pula yang non-dimensional. Keberadaan yang dimensional terbatas. Seluruh pengetahuan yang berkonsepsi pada hal ini, niscaya terbatas. Sedangkan keberadaan non-dimensional, ada yang terbatas dan ada pula yang tak terbatas. Non-dimensional yang terbatas, seperti partikel dan gelombang, hakikatnya sama saja dengan keberadaan yang dimensional, tidak mungkin dijadikan prinsip, yakni titik akhir dari struktur pengetahuan yang membuat kita berkonsekuensi akhir, hidup atau mati. Karena prinsip harus universal, maka ia mengacu pada sesuatu yang sederhana.
Perjuangan buruh cenderung hilang momentum di tengah-tengah masyarakat, padahal ia merupakan kelas signifikan dalam sebuah negara, karena ketidakpiawaian dalam membungkus isu. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan merangkaian isu mana yang universal dan mana yang partikular. Petani, nelayan, mahasiswa, PNS, pemuda, dan pelajar tidak mungkin diajak demo tentang outsourcing dan pekerja kontrak bila serikat buruh tidak membungkus dengan isu yang lebih universal sehingga menjadi kebutuhan dan kepentingan bersama.
Ketidakmampuan membahasakan isu tersebut ternyata bukan sekadar masalah biasa atau tidak biasa, tapi lebih mendasar lagi, yaitu kemampuan melihat ruang permainan politik yang lebih luas. Bahwa buruh itu besar dari segi jumlah, iya. Tapi kenyataan pula bahwa serikat buruh krisis SDM sehingga daya ledaknya dalam setiap aksi massa tidak semeriah seminar penjaja intelektualitas di hotel-hotel berbintang.
Selain itu, isu universal yang mereka mainkan masih kalah ciamik dengan isu-isu politik lokal karena isu tersebut tidak didasari oleh tendensi teologis. Saat ini isu teologi hanya dipakai untuk kampanye pilkada dan alat legitimasi rezim. Tapi sesungguhnya nilai-nilai teologi jauh lebih luhur dan mendukung perjuangan kaum tertindas.
Agama menjadi milik elit dan golongan tertentu, bukan lagi barang milik rakyat. Karena hegemoni yang intens, kalangan awam pun takut menggunakan idiom agama dalam setiap aksinya. Akibatnya, nilai-nilai perjuangan buruh pun didikotomikan dengan nilai-nilai keagamaan. Perjuangan buruh dilabeli selalu bernilai komunis dan anti Tuhan. Inilah yang membuat perjuangan buruh berbeda-beda dan cenderung sulit akur karena mendramatisir masalah dirinya.
Perjuangan manusia sepanjang hayat adalah mencapai kemerdekaan. Dan perjuangan selalu membutuhkan pengorbanan. Batas akhir pengorbanan adalah kemenangan atau kematian. Kematian di jalan kebenaran, membela nilai-nilai kemanusiaan adalah kematian yang agung. Pelakunya adalah martir, syahid. Tujuan akhir hidup manusia adalah mati dalam kondisi peduli dan membela nasib kaum tertindas, di mana buruh adalah mayoritasnya.
Manusia punya empat tipe perjalanan hidup: 1] ada yang awal hidupnya buruk, akhirnya berubah menjadi baik, 2] ada yang awalnya buruk akhirnya pun buruk, 3] ada yang awalnya baik, di akhir hidupnya buruk, 4] ada pula yang awalnya baik dan akhirnya pun baik. Kita ingin akhir hidup kita di tipe manusia yang keempat itu, awal dan akhir yang baik…
Sumber : http://anditoaja.wordpress.com/2009/01/13/revolusi-kaum-buruh/
No comments:
Post a Comment