Saturday, 12 January 2013

Penuntun Kaum Buruh Bab IV : Cita-Cita atau Azas Serikat Buruh

BAB IV: CITA-CITA ATAU ASAS SERIKAT BURUH

Oleh Semaoen (1920)

 

Semua orang yang hidup, termasuk juga yang menjadi buruh, harus berusaha untuk hidup selamat. Kejelasan tentang cita-cita membuat hidup seseorang akan selamat. Adapun yang dinamakan kehidupan selamat biasanya adalah kalau seseorang merasa senang dan tentram, baik hati, pikiran, maupun badannya.

a. Hati atau jiwa manusia akan merasa damai dan tentram kalau ia dapat memenuhi kewajiban agama. Jiwa manusia akan terasa hidup jika memahami maksud dari agama.
b. Pikiran atau ingatan manusia bisa tenang dan tentram kalau ia men­dapatkan kemajuan dalam pandangan atau kalau pengetahuannya tentang berbagai hal makin meluas, sehingga pandangannya pun meluas juga. Ketenangan manusia ini disebabkan karena ia mendapatkan ilmu pe­ngetahuan.
c. Rasanya badan bisa senang dan ten­tram kalau badan itu bisa sehat dan kuat dengan makanan yang cukup di perut. Jadi seorang manusia dapat dikatakan benar-benar selamat kalau hati (jiwa), otak (pikiran), dan badannya mendapatkan "makanan" secukupnya, tidak kurang dan tidak lebih. Pendek kata, sempurna lahir dan batin.

Untuk mendapatkan tiga komponen itu maka manusia dihidupkan dari lahir sampai mati, dan di sepanjang umurnya ihi oleh Tuhan Yang Maha Esa diberi tiga Bagian tempo atau masa:
a. Masa anak-anak
b. Masa dewasa
c. Masa tua

I. Masa Anak-anak

Masa anak-anak (sejak lahir sampai usia 18 atau 23 tahun) manusia dikodratkan untuk menyempurnakan badannya, belajar membuka pengetahuan d an pikiran, serta mendapat ajaran tentang kebaikan hati. Pada masa ini manusia hidup dengan orang lainnya (bapak, ibu, guru, dan yang lainnya). Pada masa ini badan disempurnakan dengan makan, minum, bermain, tidur, dan belajar. Jadi anak-anak tidak harus bekerja untuk mendapatkan makanan karena kodrat dari Tuhan memang begitu. Dengan demikian maka diharapkan anak-anak jangan sampai bekerja untuk mencari makan sendiri.

Begitu juga kaum buruh harus berusaha untuk melarang anak-anak bekerja mencari makan sendiri. Dalam hal ini lalu muncul pasal dalam asas Serikat Buruh yang bunyinya demikian:
A. "Kaum majikan yang memberi pekerjaan dilarang mengambil anak-anak (sampai usia 23 tahun) untuk dipekerjakan sebagai buruh. Pekerjaan anak-anak harus dilarang. "

II. Masa Dewasa

Ketika orang sudah cukup umur (usia 18­-23 sampai 45-55 tahun), maka diharapkan semua manusia sudah mendapatkan pekerjaan sendiri, dan untuk keperluan itu mereka harus bekerja dengan badan dan usahanya sendiri. Adapun usaha itu dilakukan untuk menyempurnakan ingatan, pandangan, dan pengetahuan (otak), sebab fisiknya sudah terlebih dulu sempurna.

Pada masa ini juga manusia harus mempelajari agama, sehingga terbuka kebaikan jiwamya. Mereka juga harus bisa bekerja untuk mencari menghidupi anak istrinya karena memang demikianlah kodrat Tuhan Yang Maha Kuasa. Kaum buruh juga harus sudah mendapatkan pekerjaan ketika ia berumur 18 sampai 55 tahun, oleh karena itu maka dalam asas Serikat Buruh disebutkan antara lain:
B. "Kaum buruh yang mesti bekerja mulai dari umur 18 tahun sampai 55 tahun supaya jangan dibuat mainan sewenang-wenang, dihukum oleh dan dengan sesuka hati dan dilepas secara sewenang­- wenang oleh kaum majikan, yang memberi pekerjaan pada mereka. Kaum buruh harus dihorrnati dan dihargai dalam pekerjaannya sebagai suatu kewajiban bagi manusia. Kalau terjadi perselisihan dalam hal ini antara kaum majikan dan kaum buruh supaya diputuskan melalui pengadilan, yaitu kedua belah pihak masing-masing mempunyai pembela yang dipilih oleh kaum itu sendiri, kemudian keputusan diputuskan secara adil oleh hakim.

III. Masa Tua

Seseorang yang berumur 45 sampai 55 tahun sudah mulai merasa dirinya tua di mana seluruh anggota badannya sudah mulai melemah serta mudah merasa lelah. Mereka harus meluangkan waktu masa tua ini untuk mendekatkan diri pada agama serta menyempurnakan jiwa serta kesabaran hidup guna bekal hidup di akhirat. Adalah kodrat manusia untuk menjalankan apa yang menjadi kehendak penciptanya yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Setiap manusia mempunyai harapan masing-masing ketika mereka masih muda dan bekerja untuk menikmati hasil yang telah dicapai pada masa tuanya. Dalam azas Serikat Buruh hak-hak kaum buruh ini dinyatakan sebagai berikut:
C. "Kaum buruh yang berumur 45 tahun supaya mendapatkan pensiun dan setiap kaum buruh berhak mendapatkan hak dari majikan mereka dalam bentuk uang pensiun tiap bulannya sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak".

Dengan sangat jelas sudah saya tulis pasal A, B, dan C, tetapi ketiga pasal itu belum sepenuhnya mewujudkan harapan kaum buruh. Selain karena umur dibagi menjadi tiga masa, masing-masing masa itu dibagi lagi menjadi tahun, minggu, hari. Bagi kaum buruh dan Serikat Buruhnya yang diperhatikan untuk dirinya sendiri yaitu masa dewasa (18-45 tahun) atau masa selama mereka bekerja. Berhubung dengan (kodrat) ini maka selama harapan manusia untuk minta waktu istirahat sesudah bekerja bisa dilakukan dalam setiap tahun, setiap minggu, dan setiap hari. Adapun waktu istirahat itu diadakan untuk mendekatkan diri dengan melihat dan memikirkan kesenangan apa yang sudah diperbuat dan kesenangan apa yang akan diperbuat untuk sanak famili dan sebagainya. Sehubungan dengan hal ini maka dalam asas Serikat Buruh disebutkan:
D.1. "Minta tiap tahun dapat perlof (libur) sedikitnya 20 hari dengan gaji penuh ".
D.2. "Minta tiap tujuh hari dapat libur satu hari".

Istirahat setiap tahun dan dalam satu minggu satu kali tentu saja perlu, namun lebih perlu lagi mengatur waktu dalam masing-masing hari atau dalam waktu 24 jam itu. Karena hari terdiri atas siang dan malam dan manusia mesti tidur dan bangun, maka yang pertama diperhatikan adalah bahwa tidur diperlukan untuk menyenangkan atau menentramkan jiwa (batin).

Adapun waktu bangun, sebagian untuk menyenangkan pikiran atau mengaktifkan kembali ingatan. Misalnya, jika setengah dari waktu bangun dalam sehari dipergunakan untuk me­motong kayu (kerja fisik) maka yang setengah hari lainnya harus dipergunakan untuk berpikir, atau menyegarkan ingatan, seperti membaca koran, membaca buku, dan sebagainya.

Sebaliknya kalau yang setengah hari itu digunakan untuk bekerja dengan pikiran, misalnya menulis surat, buku, dan sebagainya, maka yang setengah hari sisanya harus digunakan untuk menyenangkan badan, seperti jalan-jalan ke alun-alun, membersihkan rumah, olah raga, dan sebagainya. Atau bisa juga digunakan untuk membaca buku-buku tembang atau syair, pantun, bermain-main dengan anak-anak, dan sebagainya.

Adapun pembagian hari menjadi tiga keperluan itu hanya dilakukan sepenuh­nya selama manusia itu sehat dan senang. Dalam satu hari (24 jam) dapat dibagi tiga sehingga masing-masing kegiatan adalah delapan jam (3x8 jam). Begitu pula halnya bagi kaum buruh. Mereka juga meng­harapkan adanya waktu yang cukup untuk tidur yaitu delapan jam, supaya fisiknya sehat. Karena harapan itulah maka dalam asas Serikat Buruh men­cantumkan:
E.1. Minta bekerja selama-lamanya delapan jam dalam satu hari. Kaum majikan harus mengaturnya demikian:
E.2. Kalau bekerja lebih dari 8 jam, maka sisa waktu kerja lainnya harus dihitung dua kali lipat dari waktu kerja biasa. Begitupun kalau kerja malam maka waktunya harus dihitung dua kali lipat waktu kerja di siang hari (Jadi satu jam malam dihitung dua jam siang).
E.3. Karena kaum buruh berhak untuk istirahat dan tidur kepada kaum buruh minimal 16 jam dalam satu harinya.

Saya sudah menerangkan bahwa pasal asas D dan E berisi tentang pembagian tahun, minggu, dan hari, sedangkan pasal A, B, C, menerangkan kepentingan manusia dalam masa hidupnya. Semua itu pada dasarnya menerangkan "kepentingan perut", yaitu masalah memberi makan diri sendiri dan anak istri.

Sudah barang tentu orang hidup mesti makan secukupnya. Selain itu harus menjaga badan dari gangguan luar dengan cara berpakaian dan membangun rumah. Untuk keperluan ini maka pekerjaan manusia harus berhasil atau digaji dan bayaran itu harus mencukupi keperluan-­keperluan itu. Karena itu maka semua or­ang yang bekerja, termasuk juga kaum buruh, mengharapkan supaya men­dapatkan gaji yang cukup menurut keperluan hidupnya, tidak lebih dan tidak kurang. Adapun berapa besarnya gaji itu harus dipertimbangkan dan dipikirkan oleh suara mayoritas. Dalam hal kaum buruh, urusan besarnya gaji harus dipertimbangkan oleh seluruh kaum buruh dalam golongan-golongannya.

Karena keadaan dunia dan keperluan manusia selalu berubah-ubah dan makin maju, maka atutan-aturan tentang gaji itu berubah-ubah pula disesuaikan keperluan kaum buruh di tiap-tiap masa atau zaman.
Sehubungan dengan hal-hal gaji maka dalam asas Serikat Buruh disebutkan:
F.1. Aturan gaji harus dibuat dengan kesepakatan semua kaum buruh yang diberi pekerjaan oleh kaum majikan. Kaum majikan tidak boleh mengatur hal itu sesuka hatinya sendiri dan mereka harus menuruti hasil keputusan mayoritas kaum buruh. Adapun kaum buruh harus menimbang masalah gaji disesuaikan dengan standar hidup yang pantas, hal ini dapat diselesaikan sesudah ditimbang oleh rapat kaum buruh dalam Serikat Buruh. Yang terutama harus ada yaitu ketentuan berapa besarnya gaji awal, kenaikan gaji tiap tahun, berapa besar gaji maksimal. Besarnya gaji agar disesuaikan juga dengan jumlah anak dalam keluarga.

Sampai di sini pasal itu baru mengenai urusan gaji, sedangkan manusia juga harus menjaga hal-hal yang sifatnya luar biasa, misalnya sakit, kepentingan mendesak, kecelakaan kerja, dan sebagainya. Padahal dalam hal-hal yang luar biasa itu manusia harus tetap hidup. Karenanya, manusia mengharapkan ada perhatian atas hal itu, begitu juga maka kaum buruh mempunyai cita-cita yang tercermin dalam asas:
G.1. Jika sedang dalam keadaan sakit, maka dalam enam bulan supaya dapat gaji penuh, dan dalam bulan-bulan selanjut­nya mendapat setengah gaji. Selain itu supaya dapat pertolongan obat dan dokter serta libur kerja dari kaum majikan.
G.2. Kalau ada perkara penting atau perkara yang mendesak, kaum buruh agar mendapat kesempatan sedikitnya 14 hari dalam satu tahun dengan gaji penuh.
G.3. Kalau terjadi kecelakaan kerja, maka kaum buruh diharapkan dapat pensiun tanpa memandang umur atau lamanya bekerja. Besarnya pensiun mesti sesuai dengan keperluan orang yang cacat akibat kerja itu.

Begitulah maka dalam asas-asas Serikat Buruh termuat cita-cita manusia yang mencari keselamatan dalam hidupnya dalam dunia. Sudah tentu asas itu masih boleh disaring atau boleh diubah serta di­perbaiki, boleh juga ditambah dengan aturan-aturan kerja lainnya, misalnya aturan tentang ganti rugi kalau kaum buruh dipindahkan atau diperbantukan di tempat lain. Namun demikian hal-hal yang penting bisa dikatakan sudah masuk dalam pasal A, B, C, D, E, F, dan G tersebut.

Sampai di sini saya sudah cukup menerangkan asas-asas Serikat Buruh, namun agar maksud dan asas Serikat Buruh itu bisa tercapai dengan baik, maka Serikat Buruh harus mempunyai cara-cara berusaha, alat, maupun senjata.

Lalu, apakah ikhtiar, alat, dan senjata Serikat Buruh itu?

No comments:

Post a Comment