Adakah dan apakah sastra buruh itu? Sebenarnya tidak ada satupun defenisi yang pernah diberikan para ahli. Mungkinkah sastra buruh adalah karya sastra yang ditulis ketika penulisnya menjadi buruh? Ada beberapa buku yang sempat dihasilkan oleh para buruh di Indonesia di antaranya, Catatan Harian Seorang Pramuwisma (Rini Widyawati), Penari Naga Kecil (Tarini Sorrita), Hong Kong Namaku Peri Cinta (Wina Karnie,dkk), Majikanku Empu Sendok (Denok K Rokhmatika), Perempuan Negeri Beton (Wina Karnie), Nyanyian Imigran (Lik Kismawati,dkk). Beberapa karya sastra tentang buruh juga ditulis oleh mereka yang sama sekali tidak pernah menjadi buruh. Kepedulian terhadap nasib kaum buruh adalah energi yang bisa menjadi alasan utama penulis- penulis non-buruh.Mungkin ada di antara kita yang pernah membaca cerpen Matinya Seorang Buruh Kecil karya Anton Chekov. Emile Zola dengan novel Germinal yang mengisahkan kehidupan para pekerja pabrik dan ketertindasan struktur oleh para borjuis di Eropa. Charles Dickens yang terkenal dengan novel Oliver Twist, yang mengangkat tema pekerja (buruh) anak. Maxim Gorki yang kebetulan semenjak kecil juga bekerja menjadi buruh apa saja, terkenal dengan sastra realisme sosialnya, yang banyak menyoroti kehidupan buruh pabrik, Tales of Italy, yang di Indonesia diterjemahkan menjadi Pemogokan. Sastra menjadi salah satu alat perjuangan buruh secara tidak langsung. Efektifitasnya bisa dirasakan paling tidak mampu menggedor-gedor sisi kemanusiaan kita.
Tidak sebagaimana dunia politik di mana ada partai yang mengatasnamakan buruh tapi heran, nasib buruh masih berbanding terbalik dengan nasib mujur politisi yang jadi legislator. Sebagaimana biasa, kebanyakan politisi macam ini tidak pernah sama sekali merasakan beratnya hidup sebagai buruh. Sastra buruh di tanah air tidak terlepas dari seorang penyair yang hingga kini tidak diketahui rimbanya, yakni Wiji Tukul (Solo), salah satu kumpulan puisinya yang terkenal adalah Mencari Tanah Lapang. Ia seorang buruh yang konsisten, berani, dan jujur dalam puisi-puisinya. meski pun dia juga menyadari bahwa puisi buatnya adalah sebagai alat perjuangan bagi nasib buruh. Namun ia tidak begitu saja mau diperbudak oleh kata-kata yang telanjang. Dalam puisi-puisinya masih sangat terlihat irama, rima, ritme, ironi dan metafora yang mengena. Wiji Thukul adalah buruh yang pertamakali memperkenalkan sastra buruh dengan pembacaan puisi di pabrik- pabrik, kampus, lorong- lorong, trotoar, kampung dan keluar masuk kota dan desa di tahun 1990-an. Wiji Thukul "dihilangkan" secara misterius oleh rezim orde baru yang represif pada masa itu. Jagad sastra Indonesia juga masih mencatat beberapa nama yang karya-karyanya berbau buruh seperti Dingul Rilesta, Aris Kurniawan, Husnul Khuluqi, Mahdiduri. Bahkan Husnul Khuluqi meski hingga kini masih menjadi buruh, puisi-puisinya menjadi kekayaan tersendiri dalam khazanah sastra Indonesia. Puisinya tidak hanya menyuarakan nasib buruh namun memiliki estetika sastra yang baik.
Masih ada lagi nama terkenal lainnya, Wowok Hesti Prabowo yang kemudian dinobatkan sebagai Presiden Penyair Buruh dengan Roda-Roda Budayanstitut Puisi Tangerang, Budaya Buruh Tangerang dan Teater Buruh, yang sengaja ia bentuk. Wowok dan teman- teman seperjuangannya berhasil kemudian menerbitkan kumpulan puisi Buruh Menggugat, Rumah Retak, dan Trotoar. Rupanya dari jaringan sastra buruh yang dikembangkan Wowok inilah yang menjalar ke segenap semangat insan buruh di berbagai penjuru tanah air. Buruh dan sastra, keduanya mengalami keintiman sebab memang pas. Bukankah sastra yang baik adalah sastra yang memperjuangkan suatu hak dan kebenaran?
Cobalah dengarkan sesekali sastra buruh walau sejenak dan hanya beberapa kata sebab mereka adalah salah satu bagian terpenting bangsa ini. "...dlawan!" (Wiji Thukul).
No comments:
Post a Comment