Setelah lebih dari 65 tahun Indonesia merdeka (17 Agustus 1945), kondisi kehidupan anak bangsa ini secara ekonomi tidak lebih baik dibandingkan dengan kondisi masa lalu kita di era penjajahan kolonial Belanda dan Jepang. Cita-cita kemerdekaan yang tersurat dan tersirat dalam Pembukaan UUD 1945 yang demikian universal dan luhur, kiranya masih “jauh panggang dari api”. Tugas luhur tersebut sesungguhnya mencakup 4 (empat) hal utama dan penting, yakni:
(1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
(2) Memajukan kesejahteraan umum,
(3) Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (4) Ikut menciptakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Apa yang terjadi selama ini dalam mengimplementasikan cita- cita luhur bangsa ini yang telah digoreskan dengan tinta emas oleh para founding fathers kita? Jika ingin mengatakannya secara jujur, yang terjadi selama ini justru sungguh mengenaskan. Bangsa ini tidak mendapat perlindungan yang seharusnya dari pemerintah sebagai representasi negara. Masalah perlindungan buruh dan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang disebut-sebut sebagai “duta devisa”, justru mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dan jauh dari pemenuhan hak dan martabatnya sebagai kaum buruh.
Bila kita kaitkan dengan Hari Kemerdekaan yang saat ini dirayakan oleh seluruh rakyat Indonesia pada setiap tahunnya, apakah kita sudah menjadi bangsa yang benar-benar sudah 'MERDEKA'?
Bila kemerdekaan diartikan sebagai pembebasan rakyat dari segala belenggu kolonial, utamanya belenggu ekonomi, politik, dan sosial budaya, maka kaum buruh sekarang ini belumlah merdeka. Mereka (kaum buruh) masih berada dibawah belenggu baru, yaitu neoliberalisme.
Dimana sekaligus menjadi kuda tunggangan kekuatan ekonomi politik asing yang merampas kedaulatan negara dan rakyat. Kini yang berlaku di lapangan politik dan ekonomi adalah peradaban manusia yang paling primitif yakni hukum rimba. Inilah masanya hukum rimba dan keserakahan menjadi nilai utama pelaku- pelaku politik dan ekonomi. Inilah masanya kekayaaan segelintir orang hanya mungkin didapat dengan penghisapan dan penindasan pada mayoritas rakyat. Inilah sebuah sistim dan struktur sosial yang memberikan legitimasi dan pelanggengan perbudakan baru atas bagian terbesar umat manusia. Neraca ketidakadilan ini pertama-tama disebabkan semakin kukuhnya rezim kapitalisme global melalui dominasi agenda-agenda globalisasi dan pasar bebas atau neo-liberalisme. Globalisasi dan pasar bebas bukan lagi sebuah wacana atau sebuah proses alamiah, tetapi merupakan sebuah ideologi baru yang dirancang untuk mempertahankan dominasi modal dan korporasi. Tidak lain ini adalah perkembangan lebih lanjut dari formasi penghisapan masa kolonialisme danimperialisme sepanjang tiga abad lalu. Agenda-agenda globalisasi neoliberal dan pasar bebas ini kemudian menemukan ladangsubur dalam wilayah politik negara-bangsa dengan semakin menguatnya dukungan dan pemihakan kekuatan politik dominan di dalam negeri seperti rezim penguasa, partai-partai, militer, birokrasi, intelektual terhadap kepentingan negara- negara industri atau rejim ekonomi global.
Era kekuasaan korporasi transnasional ini sesungguhnya meruntuhkan dominasi dan batas-batas negara. Negara telah disandera oleh kepentingan modal dan korporasi serta hutang luar negeri. Segala kebijakan politik-ekonomi- sosial negara selama ini dalam ranah tata kuasa, tata kelola, tata produksi dan tata konsumsi ditujukan untuk melayani kepentingan liberalisasi ekonomi dan perluasan modal. Kebijakan negara pada akhirnya membuka jalan bagi perampasan secara sistematis atas alat-alat produksi, sumber-sumber kehidupan, keanekaragaman hayati dan pengetahuan-kearifan rakyat, atau hak-hak sipil-politik serta hak-hak ekonomi, politik, budaya rakyat. Disisi lain makin membuka ruang bagi negaranegara industri untuk mendiktekan sistem kehidupan yang seragam, eksploitatif, menindas, , disamping menimbulkan beban utang yang luar biasa; kehancuran sistem kehidupan; penindasan dan pelanggaran hak-hak azasi; diskriminasi dan ketidak-adilan gender; terbatasnya akses pada pendidikan, kemiskinan serta makin terbatasnya akses pada kebijakan dan sumber-sumber kehidupan sosial ekonomi.
Kaum buruh masih merupakan lapisan sosial yang belum menikmati dampak kemerdekaan. Penyebabnya, adalah syarat-syarat untuk memajukan bangsa, seperti sumber daya alam, SDM, dan teknologi, dikuasai dan didominasi oleh pihak asing. Untuk itu, kaum buruh harus terlibat aktif dalam perjuangan melepas belenggu penjajahan baru ini, yaitu menghentikan neoliberalisme di Indonesia. Jadi, arti kemerdekaan bagi kaum buruh hanya merupakan formalitas belaka. Di belakang semua itu, buruh masih menjadi warga negara terhisap dan terjajah di negeri sendiri. Karena buruh merupakan lapisan sosial yang besar di Indonesia, disamping petani, kaum miskin kota, dan mahasiswa, maka sebetulnya sebagian besar rakyat Indonesia belum pernah merdeka.
No comments:
Post a Comment