“SAYA tidak tahu apakah anak saya yang duduk di kelas dua SMP bisa melanjutkan sekolah atau tidak,” ujar Kang Usep, begitu saya memanggilnya, ketika suatu pagi menelepon ke rumah. Sepagi itu saya sudah mendapatkan kabar buruk. Kang Usep adalah operator mesin di sebuah perusahaan tekstil di Majalaya,
Kabupaten Bandung.
Perusahaan tersebut
melakukan pemutusan
hubungan kerja (PHK)
secara massal, dengan alasan mengalami kebangkrutan. Maka rontoklah ratusan tulang
punggung keluarga. Upaya normatif dilakukan dengan membawa permalasahan tersebut kepada Disnakertrans setempat. Tapi tidak besar harapan yang mereka gantungkan
melalui langkah ini. Pengalaman dari sekian banyak kasus serupa, telah cukup memberi
gambaran apa yang akan terjadi pada mereka.
“Perusahaan menawarkan pesangon
yang sangat kecil, di luar harapan. Serba salah. Diterima atau tidak tetap menjadi ganjalan. Kami sadar, upaya mencari keadilan melalui langkah seperti ini, tidak lebih sekadar formalitas. Meakeun kapanasaran wungkul. Hasil akhirnya sudah bisa diperkirakan,”
tutur Kang Usep. Tapi sepanjang percakapan, suara Kang Usep tetap terjaga dalam intonasi yang tegar. Masa lalu yang pahit dan kemampuan menjalani kesulitan hidup dengan gagah, membuatnya tumbuh menjadi kepala keluarga yang benar-benar matang. “Saya
percaya, sesungguhnya
pada setiap kesulitan
selalu ada kemudahan,”
ujar ayah tiga anak ini menyitir salah satu ayat
dalam Al-Quran.
Buruh, dan sekali
lagi buruh. Kelas semut pekerja ini berkali-kali
telah menjadi inspirasi penting dalam sejarah
peradaban manusia.
Bahkan pada tingkat tertentu telah melahirkan berbagai gerakan revolusi di banyak belahan dunia,
dengan tema ekstrim pertentangan antarkelas. Indonesia pernah menjadi tempat eksperimen pertentangan
antarkelas ini, tapi tidak pernah berhasil. Sebab kondisi yang
disyaratkan untuk munculnya gerakan tersebut tidak terpenuhi.
Pertentangan tajam seperti di tempat lain memang tidak
pernah terjadi di negeri ini, antara buruh dan pemilik modal atau antara petani dan
pemilik lahan, yang memantik api revolusi.
Meski demikian tidak berarti nasib buruh
berada dalam kondisi sejahtera dan berkeadilan dalam bekerja. Situasi yang
jomplang antara dua status itu menjadi kenyataan sehari-hari.
Upah buruh jauh
tertinggal dengan
kecepatan naiknya
harga-harga kebutuhan pokok.
Feodalisme yang
sering dikecam habis-habisan oleh manusia
modern, terkadang
bermetamorfosis ke dalam situasi kerja yang serba mutakhir. Seringkali kaum pekerja menjadi warga kelas
dua di depan kaum
pemilik. Kaum pekerja
terkadang dianggap sebagai beban, dan
bukan sebagai aset perusahaan. Kaum pekerja adalah hamba
saya yang sudah disetel harus berkata, “duli
tuanku”. Sedangkan
pemilik adalah juragan dengan kekuasaan tanpa batas. Keadaan seperti ini menempatkan
pekerja pada posisi yang lemah, tidak
memiliki daya tawar yang baik. Keringat para buruh yang keluar dari setiap lubang pori-
pori, seolah menjadi
tangisan massal
meratapi nasib sendiri. Padahal buruh sejatinya adalah gerigi yang menggerakan kumparan, energi yang menghidupkan mesin, dan semangat yang
memutar harapan.
Memang di
beberapa perusahaan
dibikin semacam serikat pekerja sebagai wadah
dialog buruh dengan perusahaan. Tapi seringkali juga perusahaan
menempatkannya sebagai formalitas belaka. Sebuah
kamuflase agar tampak seolah-olah demokratis, dan seolah menghormati hak untuk berserikat.
Para buruh sering
mengeluhkan ketiadaan
perlindungan yang memadai dari pemerintah, dalam kasus-kasus hubungan
industrial. Selalu saja tampak keberpihakan
yang kelewat kentara
dari birokrat kepada kalangan pengusaha.
”Saya akhirnya mengambil pesangon
yang kecil itu. Karena perusahaan bersikukuh
pailit. Padahal menurut aturan, pailit dan tidaknya sebuah
perusahaan harus ditentukan lewat proses
yang benar. Harus ada
audit menyeluruh.
Tidak cukup hanya
pengakuan lisan
pengusaha,” kata Kang Usep, seminggu kemudian. Tapi ya itu tadi. Buruh tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi serikat pekerja di perusahaan tersebut tidak begitu kokoh. Mereka merasa
sudah cukup berjuang.
Meskipun hasilnya jauh
dari harapan.
”Lumayanlah untuk modal mempertahankan hidup, ”ujarnya pendek. Nafasnya terdengar
seperti kelelahan.
Teleponnya ditutup.***
No comments:
Post a Comment