Sejak lahirnya kapitalisme, ada dua kelas yang terus bertarung: buruh dan kapitalis. Pertempuran yang tidak terdamaikan ini sebagian besar berkisar seputar upah. Kapitalis ingin memberikan upah yang serendah-rendahnya, yakni hanya cukup untuk biaya hidup seminim-minimnya, sementara buruh terus menuntut upah yang lebih baik.
Banyak isu-isu lain yang juga diperjuangkan buruh, dan pada analisa terakhir mereka adalah turunan dari masalah upah. Misalnya hak berserikat, yang dapat dimaknai sebagai kehendak buruh agar bisa mendapatkan hak demokratis untuk berorganisasi dan menggunakan organisasi tersebut untuk memperjuangkan upah yang lebih baik, karena buruh paham bahwa hanya dengan memiliki organisasi mereka akan dapat berjuang lebih baik. Buruh ingin berorganisasi bukan karena mereka suka berorganisasi, tetapi karena ini adalah salah satu alat perjuangan mereka. Juga misalnya tuntutan tunjangan kesehatan dan sosial, yang juga adalah bagian dari upah, yakni upah tidak langsung. Tentunya juga ada hal-hal yang tidak berkaitan langsung dengan upah, misalnya tuntutan agar tidak diperlakukan semena-mena oleh atasan, yang lebih berkaitan dengan harga diri dan kepercayaan diri buruh.
Lantas dimana posisi tuntutan hapus outsourcing dalam perjuangan buruh? Kapitalis selalu mencari celah untuk mempersulit usaha buruh untuk menuntut upah yang lebih baik. Mereka membuat seribut satu peraturan yang mempersulit pembentukan serikat buruh, mempermudah pemecatan buruh (yang kerap disebut labour market flexibility policy), mengkriminalisasi buruh, dan lain sebagainya. Outsourcing adalah satu cara untuk mempersulit buruh dalam melakukan perlawanan di dalam kerangka hukum yang ada. Dengan outsourcing, perusahaan secara legal mencuci tangan mereka dari tanggung jawab terhadap buruh. Posisi dan status buruh-buruh outsourcing sengaja dibiarkan menggantung tanpa kepastian hukum. Ini semua agar buruh-buruh outsourcing ada dalam posisi yang sangat lemah dalam menuntut kondisi kerja yang lebih baik. Jadi kita kembali lagi ke masalah upah murah. Pada akhirnya, outsourcing adalah salah satu cara kapitalis untuk menekan upah.
Buruh outsource secara legal tidak bisa menuntut pada pemilik pabrik dimana dia bekerja. Ini serupa dengan situasi buruh ratusan tahun yang lalu, dimana tidak ada hak berserikat dan tidak ada kepastian hukum akan status ketenagakerjaan buruh. Kaum buruh Eropa pada masa silam lalu melakukan perjuangan gigih dan memenangkan hak-hak dasar buruh: hak berserikat dan status ketenagakerjaan yang diakui oleh pemerintah. Perjuangan-perjuangan masif, dengan demo-demo raksasa dan mogok-mogok nasional, dibutuhkan untuk memenangkan hak-hak dasar tersebut, dan ini juga harus dilakukan oleh kaum buruh Indonesia untuk bisa menghapus sistem kerja outsourcing.
Penghapusan sistem kerja outsourcing harus dilihat sebagai perjuangan dasar yang sama pentingnya dengan perjuangan hak berserikat. Selama outsourcing masih ada maka buruh akan terpecah-pecah. Bila gerakan buruh membiarkan – dan bahkan membenarkan – praktek outsourcing di sektor-sektor pekerjaan tertentu, maka apa yang akan menghentikan ini dipraktekkan di sektor-sektor lain di hari depan?
Pada mogok nasional ini, tuntutan penghapusan outsourcing adalah sama krusialnya dengan tuntutan kenaikan upah. Mereka adalah batu pijakan untuk tugas historis buruh yang jauh lebih besar, yakni perebutan kekuasaan ekonomi dan politik dari segelintir pemilik modal dan politisi-politisi hari ini. Hanya karena kita hari ini memfokuskan diri pada tuntutan-tuntutan reforma (upah, outsourcing, dan jaminan sosial), tidak boleh berarti kita melupakan tugas besar kaum buruh untuk memimpin seluruh rakyat tertindas dalam menumbangkan sistem kapitalisme. Selama kapitalisme masih ada, maka semua pencapaian yang telah dimenangkan buruh akan dengan mudah direbut kembali. Lihat saja saudara-saudara kelas kita di Eropa dan AS, dimana hari ini sudah banyak sekali pencapaian-pencapaian mereka yang telah direnggut kembali oleh pemilik modal.
Kawan-kawan buruh, maju serentak menuju kemenangan! Buruh Berkuasa Rakyat Sejahtera!
Sumber : www.militanindonesia.org
No comments:
Post a Comment